يَا أَبَا عُمَيْرٍ مَا فَعَلَ النُّغَيْرُ
’Wahai Abu Umair, apa yang dilakukan oleh nughair?”
Matan hadis ini sahih. Ia termaktub dalam banyak kitab induk hadis. Di antaranya terdapat dalam Shahih Bukhari dalam Kitab Al-Adab, Bab Al-Inbisath Ila An-Nas: 6129; Bab Al-Kunyah Li Ash-Shabiy Wa Qabla An Yulad Li Ar-Rajul: 6203. Terdapat dalam Sahih Muslim, dengan redaksi yang sedikit berbeda, dalam Kitab Al-Adab, Bab Istihbab Tahnik Al Maulud ‘Inda Wiladatih …: 2150.
Abu Umair yang dimaksud dalam matan hadis ini ialah putra Abu Thalhah Al-Anshari Ra. Waktu itu, usianya masih kanak-kanak. Dia baru saja disapih. Sedangkan kata nughair, dalam matan hadis ini, ialah sejenis burung emprit atau pipit yang masih kecil. Burung kecil ini merupakan mainan bagi si kecil Abu Umair.
Sababul wurud matan hadis ini, sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Ahmad, bermula dari saat Rasulullah Saw mendapati si kecil Abu Umair sedang bersedih hati. Kesedihan itu terjadi karena burung kecilnya mati. Melihat hal itu, Rasulullah Saw pun mendekatinya dan berusaha untuk menghiburnya. Beliau mengatakan sebuah ungkapan indah yang bersajak, “Wahai Abu Umair, apa yang dilakukan oleh nughair?” Sebagaimana diketahui bahwa sajak, sebagai salah satu bentuk keindahan bahasa, dapat menggembirakan suasana hati pendengarnya.
Anak kecil bersedih karena barang mainannya bermasalah merupakan hal biasa. Begitulah yang terjadi dengan si kecil Abu Umair putra Abu Thalhah Al-Anshari Ra saat burung kecil mainannya mati. Dia pun bermuram durja. Begitulah tabiat anak. Tapi, keberadaan orang terhormat nan mulia yang memberikan perhatian dalam hal ini adalah hal yang luar biasa. Itulah yang dilakukan oleh Rasulullah Saw kepada si kecil Abu Umair. Beliau tidak sekadar memberikan perhatian. Tapi, lebih dari itu, empati. Dari empati inilah timbul rasa iba yang melahirkan semangat untuk menghibur dan mengembalikan keceriaannya. Inilah pesan moral yang luar biasa dari matan hadis ini. Ya, mengembalikan keceriaan yang hilang.
Ada banyak hal yang bisa memicu kesedihan pada diri anak-anak. Mulai dari hal, yang bisa jadi dalam pandangan orang dewasa, tampak sepele sampai hal yang dapat menimbulkan duka mendalam dan berkepanjangan. Dalam konteks hadis ini, matinya burung mainan si kecil Abu Umair bisa jadi bagi sebagian orang dewasa merupakan masalah yang ringan. Tapi, toh tetap saja ia berpotensi menimbulkan trauma kejiwaan. Buktinya, si kecil Abu Umair bersedih. Tak salah bila Rasulullah Saw berusaha menghiburnya. Kalau dalam peristiwa ini Rasulullah Saw telah menunjukkan kepeduliannya, apatah lagi dalam peristiwa yang lebih besar seperti meninggalnya orangtua. Tentulah beliau lebih peduli lagi.
Di sinilah kita bisa memahami betapa luar biasanya empati Rasulullah Saw kepada anak-anak yatim. Beliau tak ingin melihat mereka berduka. Beliau ingin mereka tetap ceria walau tanpa kebersamaan orangtuanya. Sampai-sampai beliau menjamin siapa saja yang mau mengurus anak yatim kelak akan berada di surga duduk bersanding dengannya. “Saya dan orang yang mengurus anak yatim di surga seperti ini,” sabda Rasulullah Saw sembari mengisyaratkan telunjuk dan jari tengahnya dan merenggangkan di anatara keduanya. Ini sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari.
Sejatinya, pesan moral untuk mengembalikan keceriaan tidak hanya terbatas untuk anak-anak saja. Tapi, untuk semua orang pada semua strata usia. Hal ini dikarenakan duka nestapa bisa merenggut keceriaan siapa saja tanpa pandang usia. Tidak hanya anak-anak yang bisa bersedih dan berduka. Orang dewasa pun kerap mengalaminya. Hanya saja anak-anak lebih rentan terpapar trauma kejiwaan, karena kondisi kejiwaannya yang belum sepenuhnya matang. Karena itu, Islam menjadikan menghibur saudara seiman yang sedang berduka, tanpa memandang usia, sebagai bagian dari ajarannya. Bahkan, menjadikannya sebagai amalan yang utama. “Amalan yang paling utama adalah engkau memasukkan kegembiraan kepada saudaramu yang beriman; melunasi hutangnya; atau memberi makan roti padanya,” sabda Rasulullah Saw sebagaimana dituturkan kembali oleh Ibnu Abi Ad-Dunya dan Ad-Dailami.
Tak heran, bila salah satu yang diucapkan oleh Rasulullah Saw saat mengunjungi orang sakit, sebagaimana dituturkan oleh Bukhari, ialah: “Laa ba’sa thahuurun in sya’a Allah.” Maksudnya, “Tidak apa-apa. Insya Allah, penyakit ini sebagai pembersih dosa-dosamu.”
Selain doa, dalam ucapan ini ada motivasi penguat jiwa supaya orang yang sakit dapat berbesar hati dan memiliki harapan. Ketika orang sudah memiliki kebesaran hati dan harapan, maka keceriaannya akan kembali seperti sedia kala. Dalam konteks inilah, ajaran Islam menjadikan mengunjungi orang yang sedang sakit sebagai salah satu dari hak seorang muslim yang harus dipenuhi oleh muslim yang lain. Wallaahu a’lam bish-shawaab.
[Penulis: Tamim Aziz, Lc., M.P.I., Pengasuh Pondok Pesantren Ulin Nuha
Slawi, Tegal, Jawa Tengah. Dimuat di Majalah Hadila Edisi September 2016]