Menjadi Istri, Bukan Menjadi Ibu bagi Suami

Menjadi Istri, Bukan Menjadi Ibu bagi Suami

Hadila – Kehidupan pernikahan sangatlah unik. Untuk mendapatkan kehidupan yang harmonis dan bahagia bukan saja diperlukan tekad dan cinta, melainkan diperlukan ilmu dan seni. Dua hal ini adalah komponen yang sangat penting untuk bisa menjaga dan merawat cinta sepanjang perjalanan berumah tangga.

Sangat banyak konflik pasangan suami-istri yang sebagian berujung kepada perceraian disebabkan kurangnya ilmu dan tiadanya sentuhan seni dalam mencintai. Saya sangat percaya bahwa dalam segala sesuatu terdapat seni, dan inilah yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya.

Pasangan suami-istri akan hidup harmonis dan bahagia sepanjang masing-masing mereka menempatkan diri secara tepat dan proporsional. Di titik ini, sudah sangat tampak perlunya ilmu dan seni dalam mencintai.

Suami harus berperan sebagai suami, istri harus berperan sebagai istri, ini yang disebut sebagai tepat dan proporsional. Ada sisi maskulin, sebagaimana ada sisi feminin yang harus sama-sama dijaga dalam membangun interaksi antara suami dan istri. Dengan itulah mereka berdua disebut sebagai pasangan.

Menjadi berbeda ceritanya ketika mereka berinteraksi dengan anak-anak. Pada konteks hubungan dengan anak, ada peran berbeda yang harus mereka jalankan secara bersama-sama. Mereka harus berperan sebagai orang tua yang mendidik, mengontrol, mengarahkan, dan membimbing anak-anak.

Ada peran ayah dan ada peran ibu bagi anak-anak. Mereka adalah orang tua yang harus menyayangi, mencintai, dan mengasihi anak-anak dengan cara yang khas. Berbeda dimensinya dengan cinta kasih selaku pasangan suami-istri.

Ketika Istri Berubah Menjadi Ibu

Persoalan mulai terjadi saat ada kerancuan sikap. Misalnya ketika istri bersikap sebagai ibu dalam berinteraksi dengan suami. Hal ini akan membuat suami merasa tidak nyaman. Bukan saja karena merasa diperlakukan sebagai anak kecil, melainkan karena ia tidak mendapatkan sosok istri yang diidamkan. Setiap hari ia bertemu dengan sosok ibu yang bawel, yang selalu mengontrol dan memperlakukan ia sebagai “anak besar” yang harus selalu diawasi.

Tentu saja, para suami akan merasa sangat senang apabila sang istri bisa berlaku sebagai ibu yang pandai mengurus anak dan terampil mengelola rumah tangga seperti ibunya. Namun, dalam kehidupan seorang lelaki, ia tidak membutuhkan dua orang ibu. Ia sudah cukup bahagia memiliki seorang ibu yang melahirkan dan mengasuhnya hingga dewasa. Kini di rumah tangganya sendiri ia ingin memiliki istri, bukan sosok ibu yang terus-menerus mengontrol kegiatan kesehariannya.

Hal seperti ini sering menjadi kekhawatiran banyak kalangan suami. Psikolog Universitas Columbia, Kristina Marchant, yang menulis pada web The Art of Loving a Man menyatakan bahwa lelaki menjadi tidak nyaman saat istri berubah menjadi ibu bagi dirinya.

Bagi kaum perempuan, perubahan ini tidaklah ia sadari sepenuhnya. Ia hanya menuruti naluri keibuan yang sedemikian kuat ada pada dirinya. Para istri ingin selalu menjaga suami agar tidak melakukan tindakan yang bisa merusak kebahagiaan hidup berumah tangga.

Di sisi lain, menurut Allan dan Barbara Pease, kaum perempuan dikaruniai “insting pelacakan” yang sangat berkembang pada bagian otaknya, dan hal ini mendorong mereka dalam melakukan berbagai upaya untuk mengetahui sisi-sisi kehidupan suami.

Bagi para istri, mengetahui sisi kehidupan suami adalah bagian dari bentuk perhatian dan cinta yang tulus terhadap suami. Ini yang membuat para istri tampak kepo, ingin tahu banyak hal dari kehidupan suami.

Pada laki-laki, insting pelacakan tersebut kurang berkembang. Hal ini membuat kebanyakan suami tampak cuek terhadap kehidupan sang istri.

Seni Mencintai Suami

Marchant menyarankan, memberikan cinta kepada suami bukan berarti memasukkan suami dalam daftar check list yang harus dikontrol istri dengan detail setiap harinya. Suami bukanlah anak kecil yang harus dikendalikan dan diatur kegiatan kesehariannya.

Mengendalikan dan mengontrol kegiatan keseharian suami membuat suami merasa tidak dipercaya, merasa tidak dihargai, dan bahkan selalu dicurigai. Padahal, yang dilakukan istri adalah untuk memastikan bahwa sang suami “baik-baik saja”, tidak melakukan tindakan yang menyimpang dan berpotensi merusak keharmonisan hidup berumah tangga.

Selanjutnya, Marchant menyarankan agar para istri menjadi perempuan yang mencintai suami melalui caranya berbicara dan berinteraksi dengan ketulusan hati. Jangan menjadi perempuan yang cerewet, bawel, dan mengontrol kehidupan suami.

Dengan sifat dan sikap seperti itu, istri telah berubah menjadi sosok ibu kedua bagi suami. Suami merasa kehilangan sosok istri yang mencintai, menyayangi, dan memercayainya. Ia kehilangan sisi kelembutan dan kehangatan cinta seorang istri, berubah dan bergeser menjadi sisi kontrol serta kendali penuh dalam kehidupannya.

Ini adalah bagian dari “seni mencintai laki-laki” yang perlu dipahami oleh para istri. Dengan memosisikan diri sebagai istri, Anda akan mendapat kecintaan penuh dari suami.

Jadi, mencintai suami harus dengan seni supaya hasilnya benar-benar seperti yang Anda harapkan. Bukan dengan memperlakukan suami sebagai anak Anda, yang selalu Anda cemaskan keselamatannya sehingga Anda berlaku mengontrol dan mengendalikan kegiatan suami sepanjang hari.

Ya, berhentilah menjadi ibu baginya. Tetaplah menjadi istri yang mencintai, menyayangi, dan memercayai suami. Niscaya Anda akan mendapatkan cinta seutuhnya dari suami Anda. <>

Oleh: Cahyadi Takariawan (Konselor Keluarga Nasional)

Bahan Bacaan:

Allan Pease & Barbara Pease. 2016. Mengapa Pria Tidak Bisa Mendengarkan dan Wanita Tidak Bisa Membaca Peta?. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Cahyadi Takariawan. 2018. Wonderful Love, Menggapai Kesejiwaan Bersama Pasangan. Solo : Era Intermedia.

Kristina Marchant, dalam Art of Loving a Man.

 

Berita Lainnya

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked with *

Latest Posts

Top Authors

Most Commented

Featured Videos