Menyiapkan Reuni Keluarga di Surga, Ini Dia Tipsnya

Menyiapkan Reuni Keluarga di Surga, Ini Dia Tipsnya

Quranic Parenting

Oleh: Dr. Hakimuddin Salim, Lc. MA.

 

قال الله تعالى: وَٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَٱتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُم بِإِيمَٰنٍ أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَمَآ أَلَتْنَٰهُم مِّنْ عَمَلِهِم مِّن شَىْءٍ ۚ كُلُّ ٱمْرِئٍۭ بِمَا كَسَبَ رَهِينٌ

 

“Orang-orang yang beriman, dan anak-cucu mereka yang mengikuti mereka dalam keimanan, Kami susulkan anak-cucu itu dengan mereka, dan Kami tiada mengurangi sedikit pun dari pahala amal mereka. Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya.” (Q.S. Ath-Thur: 21)

 

Sebagai orang tua, kita pasti ingin bisa hidup bersama dengan anak-anak kita selamanya dan enggan berpisah dengan mereka. Betapa berat rasanya harus melepaskan mereka, baik itu karena kuliah, kerja, nikah, apalagi karena kematian.

Namun semua itu, mau tidak mau, suka tidak suka, adalah sebuah sunatullah dalam penciptaan. Ada kehidupan, pasti ada kematian. Ada kebersamaan, pasti ada kesendirian. Ada pertemuan, pasti ada perpisahan. Maka yang paling penting adalah bagaimana kita dan anak-anak kita bisa bertemu dan bersama lagi di kehidupan yang kekal nanti.

Ayat di atas menjelaskan bahwa ada peluang bagi orang-orang yang beriman untuk bisa melakukan reuni keluarga kelak di akhirat sana. Berikut ini beberapa poin tadabur dari ayat di atas yang penting untuk kita perhatikan:

Pertama, karunia untuk bisa reuni keluarga di surga ini terbatas untuk yang beriman. Tidak berlaku jika salah satu pihak keluarga tidak beriman, baik anaknya atau orang tua. Apalagi jika keduanya kafir. Ini tersurat jelas dalam dua kalimat “Alladzina amanu” (orang-orang yang beriman) dan “wattaba’athum dzurriyyatuhum bi iman” (Keluarga mereka yang mengikuti mereka dengan iman).

Kedua, Ibnu Jarir dalam tafsir Ath-Thabari menukil pendapat Ibnu Abbas Ra, bahwa keturunan orang Mukmin yang beriman itu akan digabungkan dan disusulkan kepada orang tua mereka (dalam derajatnya di surga), meskipun keturunan tersebut kualitas dan kuantitas amalannya tidak sebaik orang tua mereka. Hal itu merupakan bentuk pemuliaan bagi para orang tua yang beriman.

Ketiga, adapun Imam Al-Baghawi dalam tafsirnya memperinci, bahwa yang dimaksud dzurriyah (keturunan) di sini mencakup dua macam: yang pertama, adalah anak kecil yang belum balig (Ash-Shighar). Mereka ini akan dipertemukan dengan orang tua mereka tanpa syarat iman, karena mereka belum mukallaf. Kedua, adalah keturunan yang sudah dewasa (Al-Kibar). Untuk bisa digabungkan dengan orang tua mereka di surga, para anak yang sudah dewasa ini harus beriman.

Keempat, dari sini, bisa disimpulkan bahwa syafaat untuk mendapatkan sebuah kenikmatan di akhirat itu, tidak hanya berasal dari anak ke orang tua (bottom up), seperti dalam hadis keutamaan anak saleh atau hadis mahkota bagi orang tua yang anaknya hafal Al-Qur’an. Tetapi juga berlaku dari orang tua (top down) ke anak karena keimanan dan kesalehan-nya.

Kelima, bergabungnya anak keturunan (yang lebih rendah amalannya) tersebut merupakan kemurahan dari Allah Ta’ala, tanpa mengurangi derajat dan jatah kenikmatan yang diberikan kepada orang tua. Justru menurut Syekh Abdurrahman As-Sa’di dalam tafsirnya, itu merupakan “Tamām na’īmi ahlil jannah” (sebagai bentuk sempurnanya kenikmatan yang diberikan kepada penghuni surga).

Keenam, bisa disimpulkan, bahwa untuk menyiapkan reuni keluarga di tempat tertinggi dan terindah di surga nanti, diperlukan: keimanan semua anggota keluarga dan kesalehan yang maksimal dari para orang tua. Ini butuh at-tarbiyah madal hayah; terus mendidik diri dan keluarga tanpa henti hingga mati.

Ketujuh, diharuskan juga menegakkan “amar ma’ruf nahy munkar” di dalam keluarga. Antara suami-istri, orang tua-anak, atau adik-kakak harus membudayakan “Tawashau bilhaqqi wa tawashau bisshobri” (saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran), demi terjaganya spirit keimanan dan kesalehan dalam kehidupan rumah tangga. <>

Berita Lainnya

Latest Posts

Top Authors

Most Commented

Featured Videos