Mimpi Punya Rumah Baru Oleh Ummu Youzarsif, Bandung
Hadila.co.id — Diantara ‘tumpukan’ rumah-rumah kecil di satu pojok perkampungan sederhana, paviliun yang kami tinggali, sangatlah tidak istimewa. Ukuran empat kali tujuh meter mungkin tidak bisa disebut rumah. Pintunya hanya satu di depan, nyaris tak berteras kecuali secuil, cukup untuk keset.
Kamarnya mengambil dua kali tiga meter ruangan dengan sekat tripleks. Ada dapur yang bertetangga langsung dengan kamar mandi. Air dari keran kamar mandi tertampung di ember kecil, tidak ada bak mandi, saking sempitnya. Ventilasi besar hanya melalui jendela depan.
Paviliun kami bercat biru cerah, bangunannya masih sangat baru. Setelah menikah, kami menyewanya dari seorang kenalan dengan harga miring.
Hampir 3 tahun, dan sejak malam pertama di paviliun, aku sudah mimpi punya rumah baru. Lebih baik dari paviliun kami.
Dengan ruang tidur yang lebih luas, ruang tamu yang lebih nyaman, dan ventilasi yang lebih baik agar saat aku memasak, suami dan si kecil tidak perlu batuk-batuk karena asap masakan memenuhi ruangan. Aku bermimpi punya rumah sederhana, karena dengan penghasilan pas-pasan, aku sepenuhnya paham tidak ada gunanya memimpikan rumah besar.
Keinginan memiliki rumah semakin besar setiap kali ada teman atau tetangga ngobrolin kredit murah. Pun setiap kali lihat rumah lucu atau tanah kosong. Ah, Sampai bosan bercanda dengan suami. “Aa’, yang itu mau dijual, mau beli gak?” godaku acap kali.
Suatu hari, saat melintasi sebuah rumah nan indah dengan halaman luas dan hijau, setengah berteriak aku berujar, “Aa’, ingin rumah seperti itu! Yang halamannya luas, seperti kata Rasul.”
“Apa Rasul suka rumah yang halamannya luas?” tanya suamiku, yang kujawab dengan bersemangat, “iya.”
“Memang rumah Rasul seluas itu?” tanyanya lagi.
“Gak tau,” jawabku.
“Memang ada jaminan bahagia dengan rumah begitu?” cecar suami.
“Ya gak tau,” jawabku sekenanya.
“Lebih suka mana dengan rumah di surga?” suami terus bertanya.
“Ya di surga lah,” tukasku.
“Kalo begitu kita pikirkan saja bagaimana bisa punya rumah di surga ya honey. Di surga tidak ada rumah, tapi istana,” suami tersenyum lebar.
Tertegun, kuamini kata-kata suamiku kala itu. Sejak saat itu, aku tersenyum saja setiap kali melihat rumah berbagai bentuk; baik yang megah ataupun yang ala kadarnya.
Benar. Rumah bagaimanapun, cuma titipan, bukan punya kita. Semakin besar rumah semakin besar amanah atasnya, semakin berat pertanggungjawabannya kelak. Kini aku sangat mensyukuri tinggal di sebuah paviliun mungil.