Hadila.co.id — This’s Indonesia. Masyarakatnya mayoritas Islam, tetapi serupa “buih” di lautan. Islam hanya kulit, dipahami sebatas ritual. Surga dan neraka menjadi bahan guyonan. Islam dimaknai beragam. Sebagian saklek. Sebagian senang dengan ritual gegap gempita. Sebagian menjadikan Islam hanya sebagai warisan. Sebagian lain, menganggapnya sama dengan ajaran yang lain, yang penting ber-Tuhan.
Bangsa ini menolak untuk belajar sejarah, melupakan Islam sebagai semangat pembebas para pejuang. Lebih buruk lagi, sebagian muslim malah “alergi” dengan agamanya. Mau berpikir objektif untuk agama lain, tetapi menolak berpikir serupa untuk Islam.
Sejarah Indonesia, belum lagi direkonstruksi. Kartini masih menjadi feminis. Patimura belum dikembalikan identitasnya. Semangat jihad dan pekik takbir Bung Tomo redup sayup-sayup. Namun, fitnah terhadap Islam datang lagi dan lagi.
Saya merasa sesak karena merasa menjadi bagian dari kubu Islam yang tidak pernah mendapat tempat di media massa. Contoh sederhana; guru-guru yang merasa “dipaksa” berjilbab beritanya tayang di media, tetapi pegawai toko buku terbesar se-Indonesia tidak boleh menjalankan perintah agamanya untuk berhijab, mana beritanya?
Toleransi hanya berlaku satu arah. Dari “agama mayoritas” kepada kelompok agama lain. Kalau ada yang diberhentikan karena jilbabnya, diperingatkan karena jenggotnya, itu bukan diskriminasi. Pernah bertanya mengapa?
Meyakini bahwa agamanya yang benar dan yang lain salah disebut fundamentalis-fanatik. Lalu apa seseorang harus mengakui semua agama benar, padahal dengan menyatakannya berarti menyatakan bahwa kebenaran itu tidak ada?
Seseorang tidak dibenarkan “menyalahkan” perilaku orang lain karena; “Hanya Tuhan yang berhak menentukan benar dan salah.” Kalau begitu bukankah seseorang semestinya juga tidak dibenarkan membenarkan perilaku orang lain? Bukankah Tuhan yang menentukan benar dan salah?
Inilah negara yang semuanya serba terbalik. Maka sungguh saya menunggu. Menunggu datangnya orang yang akan meluruskan agama ini seperti janji Allah. Seperti Imam Bonjol, KH Ahmad Dahlan, dulu dianggap asing, tetapi selamanya dikenang sebagai pahlawan. [Oleh: Shinta Galuh Tryssa, Lecturer, Jakarta. Sumber: Majalah Hadila Edisi Mei 2014]