Hadila.co.id – Spiritualitas manusia kadang naik kadang turun. Seringnya, kehidupan dunia melalaikan manusia hingga lupa pada untuk apa ia diciptakan. Karena itu perlu senantiasa bermuhasabah, salah satunya dengan mengingat kematian. Berikut wawancara kami dengan Andie Kusuma Brata, motivator dan trainer Spiritual Building, mengenai menyimak kematian sebagai bagian dari membangun spiritual.
Bagaimana urgensi muhasabah bagi seorang manusia?
Introspeksi diri (muhasabah) perlu dilakukan. Karena setiap kita tidaklah senantiasa dalam keadaan baik. Muhasabah merangkum cara, waktu, kegiatan ketika kita mencoba melihat (scanning) diri kita sendiri secara utuh.
Muhasabah (dari kata hisab) artinya menghitung. Maka bentuknya adalah menghitung kesalahan, mengabsensi amalan, mencatat kemajuan kualitas, mengevaluasi, serta memperbaiki. Yang kurang baik di upgrade, yang tidak baik dibuang (cleaning), yang belum ada di ‘install’. Adapun metodologinya bisa bermacam-macam: tadabur, dzikir, istighosah, banyak membaca, dll. Bahkan diskusi panel pada halaqoh tertentu juga bisa jadi sarana muhasabah.
Hal apa saja yang sebenarnya perlu di ‘muhasabahi’?
Cukup satu, kesadaran terhadap tugas kita sebenarnya didunia ini, yaitu menyembah dan menghamba pada Allah. Mengembalikan fungsi diri pada fitrah sebagai hamba Allah. Landasannya pada Al Qur’an surat Adz-Dzariyat: 56.
Hampir di setiap sesi Spiritual Bulding Training (SBT) ada sisi muhasabah, dengan teori-teori kontemporer yang ‘terhubung’ dengan firman Allah (Al Qur’an) sebagai sumber hukum. Disitu kami mengajak peserta untuk alert, ngeh, sadar ingin melihat diri yang sebenarnya.
Menengok Rumah Masa Depan dan Pemutus Kenikmatan
Bagaimana dengan ‘menyimak’ kematian, sebagai salah satu metodologi dalam bermuhasabah?
Kebanyakan kita terlena melakukan tindakan perbaikan, lalai untuk berhati-hati karena lupa bahwa semua ada batas umurnya. Tidak akan mengganti sebelum sesuatu itu rusak. Busi motor, tidak diganti kalau belum mogok. Orang giat olahraga ketika mulai sakit. Baru sadar mengenai kebutuhan menjaga makanan, saat mulai berumur atau merasa ada sesuatu yang tidak balance dalam tubuh.
Kalau selalu ingat bahwa segala sesuatu ada umur dan waktunya, orang pasti akan bersiap. Mengingat kematian adalah kunci muhasabah. Menundukkan kembali kepada tujuan kita, menghentikan segala nafsu kesombongan, amarah, hasrat yang tidak baik. Orang-berani melakukan hal-hal buruk dan menyimpang karena dia lupa bahwa dia bisa mati. Sehingga mengingat kematian dan kehidupan setelahnya, jauh lebih tepat dari muhasabah apapun.
Terkadang ‘pesan’ kematian hanya berefek sejenak, mengapa demikian?
Karena lingkungan tidak mendukung. Bedakan ghiroh orang-orang di pondok pesantren atau di tanah suci, dimana spiritualitas terus terjaga. Tidak ada godaan dunia, juga karena hanya ‘menyediakan’ diri untuk beribadah. Saat training SBT, banyak yang menangis tersadarkan. Namun saat kembali kepada rutinitas harian, pekerjaan, dihadapkan pada uang tak bertuan, pertarungannya menjadi luar biasa.
Karena itu mengusahakan untuk selalu terjaga setelah ‘titik kesadaran’ pada muhasabah, lebih perlu setelah muhasabah itu sendiri. Caranya dengan mendekatkan diri pada Allah, sering menyebut nama-Nya. Ini harus dibiasakan. Dalam perkataan atau diam (dzikir), bahkan latah pun, sebut Allah. Kemudian ingat, terlibat, dan kondisikan diri tetap dalam kebaikan.
Jika kematian adalah nasehat pengingat, bagaimana membangun spiritual agar selalu ingat pada kematian?
Allah sediakan banyak pengingat dalam berbagai peristiwa: sakit, bencana alam, dll. Biasanya saya menyarankan:
Pertama, dengan menghitung berapa hal yang sesuai dengan plan kita dan yang tidak sesuai plan kita. Pasti banyak yang tidak sesuai plan. Ini menunjukkan bahwa Allah Maha Kuasa. Kedua, dengan sering membesuk orang sakit dan ziarah kubur agar senantiasa sadar bahwa ajal bisa datang sewaktu-waktu. Ketiga, dengan mengingat sudah berapa lama kita ditinggal orang-orang tercinta. Misalnya, Ayah saya meninggal di usia 36. Saat menjelang usia 36 saya sering merasa gelisah, sampaikah saya diumur 36. Setelah sampai 36, selebihnya saya menjadi lebih bersyukur.
Dibutuhkan kecerdasan, ilmu dan sensitifitas (kecerdasan spiritual) yang memadai supaya selalu bisa mengambil pelajaran/hikmah dari berbagai hal termasuk kematian. Ini harus dilatih terus-menerus. Sempatkan waktu ibadah rutin. Jika dalam ibadah haji ada sunnah arbain, kalau saya ada arbain everyday, yaitu sholat 40 rakaat setiap hari. Ini sebagai contoh saja. Dekatnya rentang membuat kita selalu ingat Allah.
Jangan puas dengan amunisi spiritual yang kita punya. Selalu belajar, khususnya Al-Qur’an. Dalam Al Qur’an selalu diingatkan akan keberadaan Allah. Berarti kita selalu diingatkan akan ‘pulang’. Lalu bergaul lah dengan teman-teman atau lingkungan yang baik. Karena kita makhluk yang dhoif, mudah tergoda. Sedang lingkungan bisa menjaga dan membangun seseorang.
Jangan sampai kita lalai seperti kisah penyelam pencari mutiara. Terlena dengan keindahan bawah laut, lupa tugas utama, hingga alarm tabung oksigen ‘memaksanya’ pulang ke darat. Dalam antrian panjang dan lama menghadap majikan, diantara banyak penyelam lain, ia merasakan takut luar biasa. Dengan tubuh bergetar, saat ditanya: “Apa yang kamu bawa?” ia hanya bisa menunjukkan ikan yang telah busuk, terumbu karang yang rapuh, tanpa membawa mutiara.
(Sumber: Majalah Hadila Edisi Juni 2014)