Orientasi Akhirat Kepada Allah

Orientasi Akhirat Kepada Allah

Hadila – Kondisi terdesak memaksa manusia harus mencari jalan keluar dan tempat perlindungan yang menjamin keselamatan dan keamanannya. Ketika dunia tidak dapat lagi diandalkan, matahari, bulan dan alam semesta telah dihancurkan, pada saat genting itu, manusia bertanya-tanya, “kemana lari dari kebinasaan?” Pada saat itu tidak ada tempat untuk mendapatkan perlindungan untuk siapa pun kecuali dari Allah. “Hanya kepada Rabbmu sajalah pada hari itu tempat kembali. (Q.S. Al-Qiyamah: 12)

Tidak mungkin bagi seorang pun untuk sembunyi atau lari dari pengadilan Allah pada hari dahsyat tersebut. Kunci untuk menghadapi hari dahsyat tersebut telah diberikan. Dalam ayat lain, Allah menyeru para hamba-Nya untuk lari mendekat kepada-Nya, yaitu menjauh dari segala yang dibenci Allah kepada yang dicintai dan diridai-Nya. Allah menyebutkan kembali kepada-Nya dengan kata lari, sebab terdapat berbagai ancaman yang menakutkan dan membahayakan manusia yang hanya bisa diatasi dengan kembali kepada Allah. “Sesungguhnya aku seorang pemberi peringatan yang nyata dari Allah untukmu. (Q.S. Az-Zariyat: 50)

Peringatan nyata dari Rasulullah adalah solusi yang benar dan terjamin. Salah satunya diriwayatkan oleh Ibnu Majah dengan sanad shahih,  “Barang siapa dunia menjadi orientasinya, Allah akan memporak-porandakan urusannya, dan menjadikan kemiskinan di depan matanya, dan dunia tidak akan datang kepadanya kecuali sekadar apa yang telah ditetapkan untuknya. Dan barang siapa akhirat menjadi niatannya, maka Allah akan menghimpunkan urusannya dan menjadikan kekayaannya di hatinya, dan dunia akan mendatanginya dalam keadaan tunduk.” (Sunan Ibnu Majah,2/1375, hadis ini dishahihkan oleh Al-Albani)

Orang yang menjadikan akhirat sebagai obsesi terbesarnya dan hal yang paling menyita perhatiannya, dia tidak akan melalui satu hari pun tanpa mengingat hari akhir, segalanya pasti dihubungkan dengan akhirat, pembicaraannya selalu mengandung unsur akhirat, ia bergembira dan bersedih karena akhirat, dan ia berkarya hanya untuk akhirat.

Orang yang mampu mencapai kondisi tersebut, Allah pasti menganugerahkannya tiga kenikmatan. Nikmat yang pertama adalah jam’u syaml (dihimpun segala urusannya).As-Syamlu’ artinya adalah kumpulan segala yang mengitari manusia.  Allah Swt memberikan kepadanya ketenangan, kedamaian, dan menyatukan ide-ide cemerlang dan pemikirannya, meminimalisir rasa lupanya, menyatukan keluarganya, menambah kecintaan antara dirinya dan keluarganya,  menyatukan anak keturunannya, memudahkan urusannya, menghimpun kerabatnya dan menjauhkan perpecahan antar mereka, menghimpun hartanya sehingga tidak tercerai-berai karena perniagaan yang bangkrut atau pengelolaan yang salah, menghimpun hati manusia sehingga condong kepadanya dan mencintainya, dan Allah menghimpun segala perkara kebaikan yang mengitarinya.

Nikmat kedua adalah kekayaan hati, di mana Rasulullah bersabda dalam sebuah hadis shahih, “Tidaklah kekayaan itu dari banyaknya harta, namun kekayaan itu adalah kekayaan jiwa.” (H.R. Muslim no. 1051)

Imam Al-Munawi berkata: “Maksudnya, tidaklah kekayaan yang terpuji itu diperoleh dari banyaknya harta dan perhiasan, karena banyak orang yang diberi keluasan harta  oleh Allah tetapi dia tidak memanfaatkannya, dan hanya fokus menambah  tanpa peduli darimana datangnya harta itu, seakan-akan orang tersebut fakir karena ambisinya yang tak berujung.  (Faidhu al-Qadir, 5/358)

Dalam biografi ahli zuhud, Ibrahim bin Adham disebutkan bahwa ada seorang laki-laki yang berkata kepadanya, “Saya ingin Anda menerima jubah ini.” Ibrahim berkata, “Jika Engkau adalah orang yang kaya, aku akan menerimanya, tetapi jika Anda orang miskin, aku tak akan menerimanya.”  Orang tersebut menimpali, “Saya orang kaya.” “Berapa harta yang Anda punya?” tanya Ibrahim. Dia menjawab, “Dua ribu.” Ibrahim berkata, “Dan Anda berharap ia bertambah menjadi empat ribu?” “Tentu saja iya”, jawab orang tersebut. “Jika demikian, Anda miskin dan aku tak mau menerima hadiah dari orang seperti Anda.”  (Al-Bidayah wa an-Nihayah, 10/138)

Nikmat ketiga adalah ditundukkan dunia untuknya, yakni dirinya berlari menjauhi dunia sedangkan dunia berlari mengejarnya dalam keadaan hina dan tunduk, persis seperti yang diumpamakan oleh Imam Ibnu al-Jauzi ketika mengatakan, “Dunia itu adalah bayangan, jika dirimu pergi menjauhinya, maka bayanganmu akan mengikutimu. Namun jika kau mencarinya, justru ia akan memendek. Orang yang zuhud tidak menoleh kepada bayangan sehingga bayangan mengikutinya, sedangkan orang yang rakus setiap kali menoleh, ia tak melihatnya.” (Al-Luthfu fi al-Wa’idh, hal 52)

Sementara orang yang menjadikan dunia sebagai obsesinya; tidak memikirkan kecuali dunia, tidak bekerja kecuali demi dunia, tidak memberi perhatian kecuali untuknya, tidak bahagia kecuali karenanya, tidak membantu atau memusuhi kecuali karenanya. Orang seperti ini dihukum Allah dengan tiga hukuman, yaitu, pertama; Allah mencerai-beraikan urusannya; pikirannya kacau, jiwanya gelisah, sering mencemaskan segala hal meskipun remeh, hartanya amburadul dan tidak diberi petunjuk untuk mengalokasikannya pada proyek tertentu atau bisnis, anak dan istrinya juga dicerai-beraikan, sehingga mereka senantiasa melawan dan durhaka kepadanya.

Hukuman kedua, adalah membuatnya tak pernah merasa puas meski begitu banyak harta yang ia miliki, selalu merasa miskin dan kekurangan sehingga ia berlari menjulurkan lidah dan mengejar harta setiap kali merasa kurang, dan ini membuatnya kian lelah, sedih, dan cemas.

Hukuman ketiga adalah dunia selalu berlari menjauhinya dan meninggalkannya. Ia mencari dunia tapi dunia malah menjauh darinya, sebagaimana orang yang melihat fatamorgana dan mengejarnya. Ia terus berusaha menggapai jabatan, posisi, status, pujian, ketenaran, nama besar, dan ia mengorbankan dirinya demi hal tersebut, tetapi semuanya menjauh darinya sebagai hukuman dari Allah.

Inilah yang membuat Utsman bin Affan RA salah seorang konglomerat sahabat Rasulullah berpesan, “Obsesi kepada dunia adalah kegelapan di dalam hati, dan obsesi akhirat adalah cahaya di dalam hati.” (Al-Isti’dad li Yaumi al-Ma’ad, hal 9) <Dimuat di Majalah Hadila Edisi September 2021>

Penulis: Tajuddin Pogo (Pengurus Ikadi Pusat)

Berita Lainnya

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked with *

Latest Posts

Top Authors

Most Commented

Featured Videos