Oleh: Aprilina Prastari, M.Si (Pemerhati Komunikasi Keluarga)
Jika sebelumnya orang tua mengkhawatirkan dampak negatif penggunaan media sosial pada anak sebatas pada sulitnya mereka mengatur waktu untuk belajar, berinteraksi dan bermain dengan teman sebayanya, belakangan, dampaknya lebih membahayakan lagi. Belum hilang perasaan resah orang tua dengan banyaknya kasus pelecehan seksual yang menimpa anak di dunia nyata, kini, pelaku pelecehan seksual tersebut mulai masuk ke dunia maya.
Beberapa waktu lalu, di beberapa daerah di Indonesia, aparat kepolisian menangkap pelaku kejahatan seksual yang melakukan tindak pidana asusila melalui media sosial. Dari tersangka, polisi menemukan ribuan foto dan video tak senonoh dengan korban yang masih berusia anak-anak.
Kejadian ini sebetulnya bukan peristiwa baru. Pada kuartal pertama tahun 2018, misalnya, Komisi Perlindungan Anak Indonesia mencatat 13 kasus eksploitasi seksual dengan korban masih anak-anak, beberapa di antaranya terjadi di media sosial.
Dari hasil investigasi, ada kesamaan cara pelaku dalam melakukan kejahatan seksual di dunia maya. Awalnya, mereka mencari anak-anak, baik laki-laki maupun perempuan yang secara penampilan fisik terlihat menarik. Lebih jauh mereka akan mengamati bagaimana anak-anak ini berinteraksi di media sosial. Dari konten yang korban unggah di media sosial bukan hal sulit bagi seorang predator untuk mengamati perilaku bahkan kondisi psikologis anak; apakah mereka dekat dengan orang tuanya, siapa saja temannya, apakah mereka akrab dan diperlakukan baik oleh teman-temannya, dan sebagainya.
Setelah mendeteksi calon korban, mereka akan mengajak berkenalan, mendekati, berpura-pura baik, menjadi sosok yang perhatian. Ketika sudah merasa dekat, predator akan mulai meminta korban untuk memfoto bagian tubuh mereka, bahkan ada yang lebih memprihatinkan dari itu.
Membatasi Bermedia Sosial, Cukupkah?
Jahatnya dampak media sosial, termasuk game online membuat orang tua harus mempertimbangkan banyak hal untuk mengizinkan putra-putrinya bermedia sosial. Sebagian orang tua ada yang membatasi anaknya dalam menggunakan gawai dan berinteraksi melalui media sosial bahkan ada yang sama sekali tidak mengizinkan anak untuk mengaksesnya. Lalu, apakah cukup dengan membatasi anak bermedia sosial?
Ketikdakpahaman anak, perasaan ingin diperhatikan atau memiliki seseorang yang anak anggap peduli pada dirinya menjadi, salah satu alasan mengapa anak bisa dekat dengan sosok yang baru dikenalnya di dunia maya.
Untuk itu, jauh sebelum orang tua mengizinkan anak berinteraksi di dunia maya, hubungan kelekatan antara orang tua dan anak harus dibangun lebih dulu. Ada banyak cara yang dapat dilakukan orang tua, di antaranya meluangkan waktu untuk mendengar cerita anak dan melakukan aktivitas bersama.
Membangun komunikasi dua arah pun perlu dilakukan untuk menguatkan hubungan orang tua-anak. Ada orang tua yang merasa, kalau sudah berbicara dengan anak, berarti sudah berkomunikasi. Komunikasi yang dimaksud tentu saja bukan komunikasi satu arah—orang tua bicara dan anak mendengar—tetapi saling mengemukakan pendapat, perasaan. Untuk melihat apakah komunikasi dengan anak sudah dibangun dengan baik, salah satunya dengan melihat kebiasaan anak untuk menceritakan perasaannya; entah itu di sekolah, dengan teman atau apa yang ia rasakan.
Ketika anak merasa orang tua dekat dengan mereka, mau diajak berdiskusi, akan lebih mudah bagi orang tua untuk memberikan pesan kepada anak dan memberikan aturan. Banyak terjadi kondisi orang tua merasa anak tidak mau patuh atau mendengar nasihat orang tua, boleh jadi karena hubungan mereka yang belum dekat. Anak merasa orang tua hanya mau berbicara tanpa mendengar, memerintah tanpa memberi apa yang dibutuhkan anak, sehingga mereka pun menjaga jarak ketika orang tua berharap sesuatu terhadap anak.
Jika ini terjadi, bagaimana orang tua bisa mengetahui apa yang dibutuhkan anak?
Jangan Hanya Batasi Waktunya
Jika memang orang tua sudah telanjur atau dengan pertimbangan tertentu memberikan izin untuk anak bermedia sosial maka selain membatasi lamanya waktu berinteraksi di media sosial, orang tua juga perlu memberikan batasan aktivitas apa yang dapat dan tidak dapat dilakukan anak di media sosial. Pertama, konten yang diunggah di media sosial. Ajarkan anak bahwa media sosial bukan tempat untuk bercerita masalah pribadi. Ajarkan mereka hanya berkeluh kesah pada Allah Swt dan orang tua atau keluarga. Berikan batasan konten yang aman untuk mereka unggah. Kedua, seleksi pertemanan. Bertemanlah hanya dengan orang-orang yang mereka kenal. Jika ada orang baru yang tidak dikenalnya, abaikan saja. Ketiga, sama-sama belajar sehingga dapat berdiskusi dan menentukan media sosial apa yang dapat diikuti.
Selain itu, orang tua harus tetap memiliki keleluasaan untuk memantau aktivitas anak di dunia maya. Namun, jika orang tua melihat ada suatu hal yang mengkhawatirkan, bijaklah dalam menyikapinya. Jangan menceramahi anak di ruang publik. Tetaplah tenang dan ajaklah anak berdiskusi melalui komunikasi tatap muka.
Jangan lupa untuk memberi gambaran hal-hal negatif apa saja yang dapat ditimbulkan di media sosial. Jika orang tua merasa tidak memiliki pengetahuan yang cukup tentang perkembangan terbaru media sosial, jangan ragu untuk terus belajar kepada generasi lebih muda yang dipercaya dan memahami hal tersebut. <>