Hadila – Setiap kali kita menunaikan ibadah kurban, senantiasa kita teringat kisah keteladanan keluarga Nabi Ibrahim As, sebagaimana telah difirmankan Allah Ta’ala, “Sesungguhnya telah ada suri teladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia…” [Q.S. Al Mumtahanah: 4]
Beliau bersama istrinya, Siti Hajar, dan anaknya, Ismail, juga Siti Sarah dan anaknya, Ishaq, adalah contoh keluarga yang berhasil membangun kehidupan atas dasar keyakinan kepada Allah Swt. Mereka juga dapat membangun idealisme dan cita-cita yang sangat tinggi disertai dengan pengorbanan yang tanpa mengenal pamrih, kecuali hanya mengharap rida Allah Swt.
Ibrahim dan istrinya saling menjaga dan saling memelihara dalam ketaatan kepada Allah Swt. Nabi Ibrahim sebagai suami dan ayah, sangat tekun menjalankan perintah Allah, berjalan ke berbagai pelosok negeri untuk menyebarkan risalah Allah Swt. Siti Hajar, sang istri, dengan ikhlas mendukung kegiatan ini sekaligus memberikan dorongan dan doa agar suaminya mendapatkan keberkahan Allah Swt.
Ada Pengorbanan karena Landasan Cinta
Inilah yang dicontohkan oleh Nabi Ibrahim As. Cinta Nabi Ibrahim kepada Allah benar-benar tidak tertandingi. Sangat besar cintanya kepada Allah, maka ia terpilih menjadi kekasih Allah. Bahkan ketika harus berkorban, dengan pengorbanan yang paling besar sekalipun, ia mau melakukan.
Dalam kehidupan berumah tangga, pasti memerlukan pengorbanan. Orang bijak menyatakan, cinta sejati butuh diuji. Bagaimana Anda mengetahui cinta jika tidak ada ujiannya?
Ujian Nabi Ibrahim sangat banyak. Dalam hidup berumah tangga, ujian beliau di antaranya adalah tidak segera mendapat anak. Beliau sangat ingin memiliki anak keturunan saleh, maka tak lelah beliau berdoa—yang kita lafalkan hingga hari ini. Rabbi habli minashshalihin. Ini doa Nabi Ibrahim. Allah kabulkan doa itu. Lahirlah Ismail, putra tercinta.
Ujian berikutnya saat harus meninggalkan Hajar dan Ismail, dua kekasih hatinya, di padang tandus yang tak ada tumbuhan maupun makanan. Ternyata ini adalah cikal bakal pertumbuhan peradaban, yang kini menjadi kota sangat ramai. Kota Makkah atau Makkah Al-Mukaramah.
Doa Nabi Ibrahim kembali terkabulkan. “Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati. Ya Tuhan kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan salat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezekilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur.” [Q.S. Ibrahim: 37]
Ujian berikutnya adalah perintah penyembelihan Ismail, melalui sebuah mimpi. Nabi Ibrahim meyakini mimpi itu adalah perintah Allah untuk dilaksanakan. Maka, segera ia sampaikan mimpi itu kepada Ismail. Ternyata justru Ismail meminta agar sang ayah mengeksekusi mimpi itu.
Sekarang peristiwa itu menjadi ritual ibadah kurban. Dulunya, ia adalah bukti ketaatan dan kecintaan Nabi Ibrahim kepada Allah. Maka, Allah mengganti posisi Ismail dengan domba yang besar, untuk disembelih oleh Ibrahim.
Keluarga Nabi Ibrahim memberikan teladan dalam pengorbanan. Tak ada cinta tanpa pengorbanan. Makin besar cintanya, makin besar pula pengorbanannya.
Tak Ada Cinta Tanpa Pengorbanan
Pengorbanan menuntut kita untuk melepaskan apa yang kita sukai, kita butuhkan, dan kita cintai (passive sacrifice). Pengorbanan menuntut kita melakukan sesuatu yang sesungguhnya tidak kita sukai, tidak kita inginkan, dan tidak kita cintai (active sacrifice).
Apabila seorang suami memberi hadiah untuk istri dengan uang yang rencananya ia gunakan untuk ikut agenda ke luar negeri bersama teman-teman kantor, tindakan memberi itu telah berubah menjadi pengorbanan. Bukan sekadar bernilai pemberian.
Apabila seorang istri memberikan uang yang ia dapatkan dari bekerja, untuk mencukupi kebutuhan suami, padahal uang itu semula akan digunakan untuk membeli kendaraan pribadinya, ini adalah pengorbanan. Bukan sekadar pemberian.
Pada contoh pertama, sebenarnya sang suami memerlukan dana untuk bisa berangkat agenda ke luar negeri bersama teman-teman kerja. Namun, karena ada kebutuhan istri yang dianggap lebih mendesak, ia lepaskan keinginannya. Uang itu ia berikan kepada sang istri. Ia berkorban untuk tidak jadi ikut ke luar negeri.
Pada contoh kedua, sesungguhnya si istri memerlukan dana untuk membeli motor guna melancarkan aktivitas pekerjaannya. Namun, karena ada kondisi yang mendesak pada suami, ia lepaskan keinginannya. Uang itu ia berikan kepada suami. Ia berkorban untuk tidak jadi membeli motor.
Ini adalah contoh dari passive sacrifice. Kita melepaskan sesuatu yang sebenarnya sangat kita perlukan. Demi cinta kita kepada orang-orang terkasih. Kita rela melepas dan memberikan sesuatu yang kita perlukan.
Ada kalanya, cinta menuntut kita untuk melakukan hal-hal yang sebenarnya tidak kita sukai. Ketika seorang suami berbaring sakit di rumah sakit, sang istri rela menunggui siang dan malam. Padahal ia juga harus bekerja, mengurus anak-anak, dan istirahat. Karena cinta, sang istri rela menemani suami bergadang di bangsal rumah sakit.
Ketika seorang istri hamil dan hendak melahirkan, terkadang tengah malam sang suami harus mengantarkan ke klinik bersalin. Bukankah sebenarnya lebih enak bagi suami untuk tidur nyenyak pada malam itu? Namun karena cinta, ia rela berjaga 24 jam tanpa tidur untuk menemani sang istri di klinik bersalin. Pun berlanjut pada malam-malam setelahnya, untuk menemani istri menjaga bayi.
Ini adalah contoh dari active sacrifice. Kita melakukan sesuatu yang sebenarnya tidak ingin kita lakukan. Demi cinta kita kepada orang-orang terkasih, kita rela melakukan hal-hal yang tidak kita sukai.
Maka, cinta selalu identik dengan pengorbanan. Tak ada cinta jika kita tak mau berkorban. Tak ada keindahan cinta jika menolak untuk berkorban. <Bahan Bacaan: Cahyadi Takariawan, Wonderful Love, Era Intermedia, 2015> <Dimuat di Majalah Hadila edisi Juli 2024)
Oleh: Cahyadi Takariawan (Direktur Wonderful Family Institute)
Leave a Comment
Your email address will not be published. Required fields are marked with *