Hadila.co.id — Kasus kesehatan anak yang saat ini menjadi masalah adalah kekurangan gizi. Hal ini diakibatkan oleh banyak faktor. Kalau dilihat kasusnya, banyak anak yang kelihatannya normal, tetapi ketika mereka dicek ke laboratorium, bisa saja kurang gizi.
Kekurangan gizi, terutama pada anak, khususnya anak perempuan akan berisiko menurun pada keturunannya saat melahirkan nanti.
Demikian pemaparan Dr. dr. Budiyanti Wiboworini, M.Kes., Sp.GK, saat mengisi seminar bertajuk “Semarak Hidup Sehat Melalui Gerakan Minum dan Makan Sehat untuk Orang Tua, Pendidik, dan Anak Didik di Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD)” di Gedung A Lantai 3 Fakultas Kedokteran, Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Sabtu (26/10).
Menurutnya, banyak sekali penelitian yang sudah dilakukan mengenai anak yang kekurangan gizi. Jika dilihat dari otaknya, anak yang zat gizinya baik, maka di setiap sel otak akan terlihat padat. Sementara kalau kurang, akan terlihat banyak ruang kosong yang lebih banyak.
“Kita tahu bahwa setiap sel otak manusia memiliki fungsi yang luar biasa. Semakin banyak selnya akan membuat anak menjadi lebih pintar,” jelas dr. Budiyanti.
Selanjutnya, dampak kekurangan gizi juga berisiko membawa si penderita memiliki penyakit tidak menular atau penyakit degeneratif seperti jantung, hipertensi, dan lain-lain, di kemudian hari.
Pemenuhan kebutuhan gizi ini, lanjut dr. Budiyanti, tidak hanya berlaku pada anak saja. Namun, ibu yang sedang hamil pun juga harus diperhatikan pola gizinya, sebab kebutuhan gizi yang baik akan mendampak pada si anak nantinya.
“Dalam ilmu gizi, setiap periode usia memerlukan kebutuhan gizi yang baik. Dari kita lahir sampai meninggal ada kebutuhannya sendiri-sendiri, sesuai dengan fase tumbuh kembang dan fungsinya untuk apa nanti,” paparnya.
Pada kesempatan berikutnya, dalam seminar ini dijelaskan beberapa hal. Di antaranya adalah materi kerkait pemberian gizi seimbang yang diperlukan bayi usia 0-6 tahun. ASI merupakan makanan terbaik bayi dalam pemenuhan semua zat gizi yang diperlukannya.
Selain sesuai dengan sistem pencernaan, ASI juga lebih bersih dan murah. Berbeda ketika anak mulai berusia 2-5 tahun, zat gizi yang diperlukannya meningkat karena masih berada pada pertumbuhan cepat dengan aktivitas yang meningkat.
Namun, perlu diperhatikan juga ketika anak mulai keluar dari rumah, ia akan lebih mudah terkena penyakit infeksi dan cacingan, jadi perlu dibiasakan hidup sehat sedini mungkin.
Orang tua juga harus mengatur pola makan untuk anak. Makanan yang berminyak, junkfood, makanan berpengawet atau jajanan yang tidak terjamin kesehatannya perlu kita hindari.
Anak bisa berpotensi memiliki alergi terhadap makanan tertentu, jadi pilihlah bahan yang segar yang diolah matang dan tentunya disesuaikan kemampuan anak-anak dalam mengunyah.
Menurut dr. Budiyanti, memperkenalkan makanan pada anak juga perlu diperhatikan. “Masa anak adalah masa belajar, jadi kalau kita memperkenalkan makanan pada anak,itu bisa menjadi pembelajaran untuk mereka. Dari belajar rasa, bentuk, juga menyesuaikan tumbuh kembang anak,” jelasnya.
Perilaku anak juga berpengaruh pada makanan, misalnya saja saat makan sambil duduk, atau kebiasaan anak yang pada dasarnya adalah peniru.
“Jangan berharap anak akan suka sayur kalau ibunya hanya memerintahkannya saja. Harus ada edukasi untuk anak mengenal berbagai macam rasa seperti manis, masam, pahit. Kalau anak tidak suka biarkan saja, jangan dipaksa, kalau dipaksa akan berdampak trauma untuk anak,” sambung dr. Budiyanti.
Pada prinsipnya usia berapa pun, kita membutuhkan zat gizi yang sama. Energi keseluruhan yang kita makan akan menjadi sumber tenaga kita. <Dina Septiana>