Hadila.co.id — Suami dan istri hendaknya menjadi sahabat, sebab corak interaksi antara mereka tidak sama dengan interaksi antarmanusia pada umumnya. Corak interaksi dan komunikasi suami istri sangat dekat, intim, tanpa sekat dan jarak. Istlilahnya suami istri kompak.
Surat nikah hanyalah bukti legal bahwa mereka sudah sah sebagai suami istri. Hal yang membahagiakan adalah corak interaksi dan komunikasi yang dibangun setiap hari, yang berkesan dan melanggengkan kebahagiaan adalah kualitas persahabatan antara suami dan istri. (Baca juga: Suami Perlu Pengakuan, Istri Perlu Pengertian)
Jika mereka tidak memiliki persahabatan yang bagus, maka ikatan yang ada hanyalah legal formal. Hanya bicara hak dan kewajiban, yang menunaikan sejumlah peran, tanpa kehadiran perasaan dan jiwa di dalamnya.
Rumah tangga akan gersang, mekanistik, dan sekadar berjalan tanpa ada sentuhan keindahan. Hidup berumah tangga seperti ini akan cepat membuat lelah kedua belah pihak.
Untuk menjadi suami istri kompak, pasangan harus memiliki ciri-ciri berikut. Pertama, suami istri mestinya saling berbagi dalam suka dan duka. Mereka harus bisa berbagi dalam segala sisi, baik perasaan, materi, fasilitas, dan lainnya. Agar suami istri kompak.
Sampai dalam hal yang teknis dan praktis pun, bisa makan sepiring berdua, minum segelas bersama, tidur satu selimut, dan lainnya. Jika suami istri tidak mau peduli dan saling berbagi, berarti mereka belum menjadi sahabat. Mereka masih mementingkan diri sendiri, masih sangat kuat keakuan dan kekamuan, belum menyatu menjadi kita.
Kedua, suami istri mestinya saling curhat, membuka diri, menyampaikan kegelisahan dan kebahagiaan. Mereka harus memiliki tradisi saling bercerita, tanpa merasa takut atau khawatir yang berlebihan. Jika mereka tidak bisa saling curhat, atau ada suasana tidak nyaman saat curhat, menandakan mereka belum mencapai kondisi sahabat.
Ketiga, suami istri mestinya saling menemani. Suami senang menemani kegiatan istri, sebagaimana istri senang menemani kegiatan suami. Walaupun kegiatan itu tampak tidak penting, tetapi mereka saling menikmati. Bahkan ketika sekadar duduk-duduk di teras, tanpa ada cerita.
Kebersamaan mereka bukan hanya karena ada yang perlu diomongkan, sebab ada masa di mana suami istri sudah kehabisan cerita, yaitu saat tua renta. Mereka tidak perlu lagi bercerita seperti anak muda. Namun, tetap bisa menikmati kebersamaan.
Jika suami dan istri tidak betah menemani, bahkan lebih senang sendiri, artinya belum menjadi sahabat bagi pasangan. Apalagi jika merasa tersiksa saat bersama pasangan, ini sangat jauh dari makna sahabat.
Keempat, suami istri mestinya tidak banyak bertanya. Jika mereka sudah menjadi sahabat setia, maka setiap ajakan suami akan mudah direspons istri, pun sebaliknya tanpa banyak pertanyaan. Hal itu karena mereka sudah saling mengerti. Ujungnya suami istri kompak.
Jika di antara mereka masih banyak yang dipertanyakan, segala sesuatu harus melalui keributan, keputusan diambil dengan alot dan menegangkan, menandakan mereka belum menjadi sahabat.
Kelima, suami istri mestinya saling percaya. Mereka tidak mudah cemburu buta, karena percaya informasi dari pihak ketiga. Mereka harus lebih percaya kepada pasangan daripada omongan orang.
Saat merasa ada yang perlu diklarifikasi, mereka akan cepat percaya kepada keterangan pasangan. Jika mereka tidak saling percaya, selalu curiga, lebih percaya orang lain, menandakan mereka belum menjadi sahabat setia.
Keenam, suami istri mestinya betah mengobrol lama, tanpa peduli tema. Mereka asyik menghabiskan waktu bercerita dan bercanda dalam suasana yang ceria. Mungkin istri yang banyak bicara, sementara suami hanya diam.
Namun, diamnya suami adalah menikmati, bukan benci. Suami betah mendengar obrolan istri, sesekali dia menyela, atau hanya tersenyum. Jika mereka masih ribut soal tema pembicaraan dan belum bisa betah mengobrol lama, menandakan belum menjadi sahabat setia.
Ketujuh, suami istri mestinya berada dalam pengertian dan pemahaman yang mendalam, karena interaksi yang sangat intim setiap harinya. Mereka memahami apa yang menyenangkan pasangan dan apa yang membuatnya benci. Jika mereka tidak saling mengerti, selalu salah komunikasi, mudah tersinggung, menandakan belum ada persahabatan.
Terakhir, suami istri mestinya saling peduli kondisi pasangan. Saat istri memerlukan kehadiran suami, maka suami selalu ada di dekatnya, pun sebaliknya.
Demikian, mereka saling menikmati kebersamaan yang melegakan dan membahagiakan. Ada perasaan terjaga, terlindungi, terawat dan terpuaskan kebutuhannya. Jika suami dan istri benar-benar bisa saling menjadi sahabat.
[Penulis: Cahyadi Takariawan, Trainer dan Konselor di Jogja Family Center. Dimuat di Majalah Hadila Edisi April 2017]