Hadila.co.id – Dia bukan Nabi. Bukan pula Rasul. Apalagi malaikat. Namun namanya harum semerbak mewangi. Termaktub dengan tegas dalam tiga kitab suci; Taurat, Injil dan Al Qur’an Al Karim. Bahkan kisahnya menjadi kebanggaan Kaum Yahudi sepanjang masa. Jika mereka ingin menanamkan nilai-nilai kepahlawanan, keprajuritan dan kepemimpinan kepada anak-anak mereka, maka mereka menjadi kisahnya sebagai rujukan utama. Ya, dialah Thalut (QS. Al Baqarah: 246 – 251).
Sunnah Mahjurah
Thalut dalam Al Qur’an adalah raja, pemimpin politik dan panglima perang. Al Qur’an menyebutkan namanya secara definitif, sementara di saat yang sama Al Qur’an menyembunyikan nama Nabi Samuel as yang saat itu menjadi pemimpin spiritual Bani Israel.
Inilah pesan Al Qur’an; terkadang urusan politik jauh lebih strategis daripada urusan-urusan yang lain. Maka wajarlah kalau Utsman bin Affan RA berkata; “Sungguh, orang yang meninggalkan kemungkaran karena kekuasaan jauh lebih banyak daripada yang meninggalkannya karena Al Qur’an”. Demikian kurang lebih Ustman mengingatkan tentang urgensi kekuasaan (Sunan Abu Dawud).
Jika kita tanya mereka yang apriori dan apatis dengan politik, apa agenda yang didahulukan oleh para shahabat pada hari wafatnya Rasulullah SAW? Pastilah jawaban mereka yang menelaah lembar demi lembar Nabi yang mulia berkata: politik! Mereka berkumpul di Tasifah Bani Sa’idah demi melakukan syura untuk memilih pengganti (khalifah) Rasulullah SAW.
Bagaimana nasib jenazah Nabi yang mulia? Mereka ‘abaikan’ sementara karena ada agenda yang lebih strategis dan emergensi yaitu suksesi kepemimpinan. Apakah mereka tidak memahami bahwa sunnah terhadap jenazah adalah mempercepatnya agar segera sampai dikubur? Bukankah ini fakta bahwa para sahabat itu ‘gila’ kekuasaan? Bid’ah apalagi yang dilakukan oleh para sahabat kali ini?
Sudahlah kawan! Mereka tidak sedang mengajari kita untuk melanggar sunnah. Atau mengembangbiakkan bid’ah. Justru mereka sedang menunjukkan kepada kita bahwa awlawiyyat (skala prioritas) dalam amal adalah sunnah Nabi yang mahjurah (diabaikan). Betapa banyak manusia-manusia shalih yang lebih mementingkan ibadah ritual dengan mengabaikan jihad fii sabilillah lewat jalur politik.
Minad diin ilad dawlah
Sungguh sangat beralasan ketika Michael H. Hart meletakkan Nabi Muhammad SAW sebagai tokoh nomor wahid dari seratus tokoh yang paling berpengaruh sepanjang masa. Tapi Nabi Muhammad sebagai apakah ia? Ya, dialah Muhammad sebagai politisi dan pemimpin Negara. “Lebih jauh dari itu (berbeda dengan Nabi Isa) Nabi Muhammad bukan semata pemimpin agama tapi juga pemimpin duniawi. Fakta menunjukkan, selaku kekuatan pendorong terhadap gerak penaklukan yang dilakukan bangsa Arab, pengaruh kepemimpinan politiknya berada dalam posisi terdepan sepanjang waktu”. Demikian Michael menuturkan argumennya.
Belajar atau ‘Belajar Tentang’
Dialah satu-satunya Nabi yang berhasil menegakkan dawlah dengan fondasi iman. Dialah satu-satunya tokoh yang menjiwai setiap langkah politiknya dengan surat dari langit (wahyu). Lalu siapakah murid-muridnya? Murid-muridnya adalah para pemimpin besar; ada yang menjadi khalifah, gubernur iklim, panglima perang, hakim dan lain sebagainya.
Siapapun yang tidak memasukkan politik Islam ke dalam kurikulum kehidupannya, maka sungguh keislamannya belum sempurna (QS: Al Baqarah: 208). Maka Ibnu Taymiyyah memiliki As Siyasah Asy Syar’iyyah. Al Mawardi memiliki Al Ahkam As Shulthoniyyah. As Suyuthi memiliki Tarikh Al Khulafa’.
Mungkinkah kita hidup tanpa politik? Wallahu A’lam…
(Oleh: Suhari Abu Fatih – Pegiat Sosial dan Dakwah)