Qaulan Sadidan; Pentingnya Berkata Jujur untuk Menanamkan Kejujuran Pada Anak

Qaulan Sadidan; Pentingnya Berkata Jujur untuk Menanamkan Kejujuran Pada Anak
Sumber gambar: ummi-online.com

Hadila.co.id – Jika di masa lalu orang tua tidak menanamkan kejujuran pada anak, maka hal tersebut bisa berkembang pada suatu permasalahan yang lebih kompleks di masa depan. Bahkan, sampai anak tersebut tumbuh dan membangun rumah tangganya sendiri.

Suatu hari, seorang suami datang kepada saya. Semenjak menikah, boleh dikata hampir tak ada kedamaian dalam rumah-tangga mereka.

Belakangan, mereka bahkan telah saling menyakiti secara fisik. Istri menyakiti suami dengan benda-benda tajam yang menyebabkan luka fisik, sekaligus luka batin.

Sementara suami, bila perlu melayangkan tinjunya ke mulut istri, sehingga istri bukannya bungkam tak bicara, melainkan justru semakin keras meneriakkan amarah dan makian.

Apa yang salah pada mereka? Apakah karena mereka tidak memperoleh pembinaan ruhiyah? Bukan. Mereka berdua memperoleh binaan yang sangat baik. Namun, seperti kata Rasullullah Saw, “Manusia itu seperti logam. Kalau di zaman jahiliah emas, sewaktu Islam pun emas juga.”

Sekalipun ia telah memperoleh binaan yang baik, tetapi mereka ternyata menyimpan problem psikologis yang sangat berat. Dan itu berawal dari pendidikan keluarga yang salah. Orang tua tidak menanamkan kejujuran pada anak saat masih dalam masa perkembangan.

Ini sekadar salah satu contoh yang cukup parah. Ada banyak kasus lain yang menunjukkan satu sebab yang sama, yakni lemahnya jiwa yang menyebabkan orang tidak mampu mengelola emosinya dengan baik.

Penyebab Masalah Rumah Tangga

Mudah meledak kemarahannya, tidak dapat menghadapi persoalan dengan baik sehingga mereka mendapati lingkungan selalu bermasalah. Padahal masalah itu ada pada jiwa mereka sendiri. Bukan pada istri yang cerewet, atau pada suami yang dianggap tidak berperasaan, maupun pada mertua dan anak yang tidak mau mengerti. Bukan.

Salah satu penyebab yang paling menonjol adalah komunikasi yang salah dari orang tua, sehingga berpengaruh pada cara mereka mengasuh anak. Saat orang tua tak mampu menanamkan kejujuran pada anak, maka berbagai problem dapat bermunculan di masa yang akan datang.

Pola pengasuhan yang buruk ini pada akhirnya melahirkan anak-anak yang tidak memiliki keterampilan mengelola emosi serta sulit menyesuaikan diri terhadap perubahan dan perbedaan situasi maupun lingkungan.

Mereka tidak mampu mengambil jarak dari masalah sehingga tidak mampu mencari akar masalah secara jernih. Tidak jarang orang-orang semacam ini memiliki ketergantungan yang cukup tinggi kepada orang lain karena kondisi psikis mereka yang rentan masalah (fragile).

Secara harfiah, fragile berarti mudah pecah. Orang yang fragile,mudah pecah keseimbangan emosinya, kacau perasaannya, dan sulit sekali berpikir secara jernih dan logis.

Faktor pendidikan orang tua dengan pola komunikasi yang buruk banyak menjadi penyebab. Di antara model komunikasi buruk yang melemahkan jiwa anak adalah kebiasaan orang tua mengelabuhi anak saat berbicara, orang tua tidak menanamkan kejujuran pada anak.

Berkenaan dengan hal ini, saya teringat dengan peringatan Allah Swt, “Dan hendaklah orang-orang pada takut kalau-kalau di belakang hari mereka meninggalkan keturunan yang lemah, dan mencemaskan (merasa ketakutan) akan mereka. Maka bertakwalah kepada Allah dan berkatalah dengan qaulan sadidan (perkataan yang benar).” [Q.S an-Nisa’ (4)]: 9]

Menanamkan Kejujuran Pada Anak

Suatu perkataan dapat dikatakan qaulan sadidan apabila ia memiliki landasan ilmu yang jelas. Selain itu, kita belum dikatakan berbicara dengan qaulan sadidan apabila kita berbohong kepada anak kita dan menutupi kebenaran, misalnya dengan menggunakan kata-kata yang kabur maknanya atau mengelabui. Padahal, orang tua seharusnya menjadi contoh untuk menanamkan kejujuran pada anak.

Misalnya kita mengatakan, “Ayo coba, Nak! Sana lari ke dapur, itu lihat ada kucing sedang menggendong anaknya.”

Anak kita lari ke dapur karena penasaran, sementara kita segera melarikan kendaraan karena takut ketahuan anak.

Kita merasa anak kita bersenang-senang dengan kucing tipuan kita, padahal mereka menangis meraung-raung, hanya saja telinga kita tidak mendengar. Itu karena orang tua tak menanamkan kejujuran pada anak.

Kelak, banyak orang tua yang menangis karena merindukan anaknya, tetapi di hati anak sudah tak ada rindu pada orang tua. Na’udzubillahi min dzalik.

Tampaknya sepele, tetapi berawal dari perasaan ditipu dan dikhianati, taka da yang menanamkan kejujuran pada anak, anak belajar tidak percaya pada orang tua. Semakin besar ketidakpercayaan itu dirasakan oleh anak, maka ia akan semakin sulit memercayai dan menerima kata-kata dari orang tua. Sekalipun itu merupakan nasihat orang tua yang paling tulus dan jujur.

Pada saat yang sama, kepekaan  dan empati anak (khususnya, terhadap orang tua) akan mengalami pengerdilan. Bila tidak dicegah semenjak dini, anak akan kehilangan kesempatan untuk belajar mengendalikan keinginan, gejolak, emosi dan lintasan pikiran. Ia menjadi impulsif dan reaktif.

Pada tingkatan yang parah, lebih-lebih jika ditambah dengan tidak adanya model yang baik dan berkesan positif bagi anak, orang tua tak menanamkan kejujuran pada anak, ia bahkan bisa mengalami fiksasi—suatu problem psikologis berupa terhentinya sebagian aspek perkembangan seseorang sehingga cara berpikirnya tetap kekanak-kanakan, meskipun selayaknya sudah punya banyak anak. <>

Oleh: Ustaz Moh. Fauzil Adhim, Pakar Parenting

*Dimuat Hadila Edisi November 2014

Ibnu
EDITOR
PROFILE

Berita Lainnya

Latest Posts

Top Authors

Most Commented

Featured Videos