Oleh: Ustaz Tajuddin Pogo (Wakil Ketua Departemen Kajian dan Riset Ikadi)
Allah telah menetapkan pada diri-Nya sifat kasih sayang (sifat dzatiyyah) dan menganugerahkan rahmat-Nya kepada makhluk tanpa sebab dan imbalan apa pun. Allah ta’ala Maha Sempurna dalam kasih sayang kepada makhluk; menciptakannya, memberinya rezeki semenjak dalam kandungan dan masa penyusuan, walaupun dia belum pernah beribadah dan beramal apa pun kepada-Nya. “Rabbmu telah menetapkan atas diri-Nya kasih sayang (rahmat)” (Q.S. Al An’am: 54). Rahmat yang umum ini terus berlanjut tanpa batas dan berlaku untuk seluruh makhluk. Allah Swt juga menyediakan rahmat khusus dan hanya dianugerahkan kepada hamba-hamba pilihan sebagai kemuliaan dan penghargaan istimewa.
Sungguh telah tertulis di atas ‘Arsy, “Sesungguhnya rahmat-Ku lebih mendahului kemurkaan-Ku.” (H.R. Bukhari no. 7404 dan Muslim no. 2751). Para malaikat yang memiliki tugas berkaitan dengan implementasi rahmat Allah terhadap makhluk pasti telah mengetahui dan membacanya sehingga menjadikannya patokan utama dalam menjalankan kebijakan Allah yang berkaitan dengan urusan alam semesta, termasuk kebijakan dan urusan-urusan yang berkaitan dengan manusia.Informasi ini sangat menggugah dan mencerahkan. Keunggulan rahmat atas murka membuat harapan terhadap keberkahan dan kebaikan lebih dominan daripada rasa takut terhadap keburukan, kekurangan, dan bencana. Hidup menjadi lebih optimis untuk meraih prestasi tertinggi dan menggapai target-target mulia, yang berakibat melemahnya sikap pesimis dan kurangnya percaya diri.
Rahmat merupakan istilah komprehensif untuk segala aspek kebaikan dan berkah Ilahi, dan ia mewakili segala perkara dan makna yang semuanya menunjukkan kebajikan, anugerah, dan kasih sayang yang diberikan Allah Swt kepada para makhluk-Nya. Makna ini juga mencakup makna pelestarian dan perawatan Ilahi seluruh makhluk-Nya, serta pemilihan Allah bagi beberapa hamba pilihan untuk menjadi nabi, rasul, wali, dan syahid yang dihormati.
Berkaitan dengan karunia, anugerah dan kebaikan di dunia, Allah Swt hanya menurunkan satu bagian dari rahmat-Nya dalam alam dunia ini dan menyimpan 99 bagian lainnya di akhirat. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata: Saya mendengar Rasulullah Saw bersabda,“Allah menjadikan rahmat (kasih sayang) itu seratus bagian, lalu Dia menahan di sisi-Nya 99 bagian dan Dia menurunkan satu bagian saja ke bumi. Dari satu bagian inilah seluruh makhluk berkasih sayang sesamanya, sampai-sampai seekor kuda mengangkat kakinya karena takut menginjak anaknya.” (H.R. Bukhari no. 5541 dan Muslim no. 2752)
Ilustrasi sederhana yang mampu dibayangkan oleh manusia tentang kasih sayang Allah tergambar pada kasih sayang seorang ibu kepada anaknya. Dari Umar bin Al Khattab radhiyallahu ‘anhu, beliau menuturkan: Rasulullah Saw kedatangan rombongan tawanan perang. Di tengah-tengah rombongan itu ada seorang ibu yang sedang mencari-cari bayinya. Tatkala dia berhasil menemukan bayinya di antara tawanan itu, maka dia pun memeluknya erat-erat ke tubuhnya dan menyusuinya. Rasulullah Saw bertanya kepada kami, “Apakah menurut kalian ibu ini akan tega melemparkan anaknya ke dalam kobaran api?” Kami menjawab, “Tidak mungkin, demi Allah. Selama dia sanggup untuk mencegah bayinya terlempar ke dalamnya.” Maka Rasulullah Saw bersabda, “Sungguh Allah lebih sayang kepada hamba-hamba-Nya daripada ibu ini kepada anaknya.” (H.R. Bukhari no. 5999 dan Muslim no. 2754)
Jangan berputus asa dari rahmat Allah. Mari lebih bersemangat lagi untuk menggapainya dan jangan sampai berputus asa darinya. Sikap putus asa hanya disematkan kepada orang-orang kafir dan orang-orang yang sesat. Allah berfirman, “ ‘Tidak ada orang yang berputus asa dari rahmat Rabb-Nya, kecuali orang-orang yang sesat’.” (Q.S. Al Hijr: 55-56) Dan juga firman-Nya, “Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah melainkan kaum yang kafir.” (Q.S. Yusuf: 87). Selain itu, berputus asa dari rahmat Allah juga termasuk salah satu di antara dosa-dosa besar. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Saw ketika ditanya tentang dosa-dosa besar beliau menjawab, “Yaitu syirik kepada Allah, putus asa dari rahmat Allah, dan merasa aman dari makar/azab Allah.” (H.R. Ibnu Abi Hatim, hasan)
Ampunan Allah termasuk rahmat-Nya, sehingga ia mengandung juga ampunan-Nya bagi para hamba yang pernah melakukan kemaksiatan dan dosa, selama dia mau bertobat. Allah Ta’ala berfirman, “Katakanlah, ‘Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.S. Az Zumar: 53)
Ibnu Katsir rahimahullah berkomentar, “Ayat yang mulia ini berisi seruan kepada setiap orang yang berbuat maksiat berupa kekafiran dan lainnya untuk segera bertobat kepada Allah. Ayat ini mengabarkan bahwa Allah akan mengampuni seluruh dosa bagi siapa yang ingin bertobat dari dosa-dosa tersebut, walaupun dosa tersebut amat banyak, bagaikan buih di lautan.” Bahkan bila dosa seseorang sepenuh bumi sekalipun, Allah Swt Maha Mengampuninya dengan keluasan rahmat-Nya. Dari Anas radhiyallahu ‘anhu, Saya mendengar Rasulullah Saw bersabda, Allah Ta’ala berfirman, “…Hai anak Adam, sungguh seandainya kamu datang menghadap–Ku dengan membawa dosa sepenuh bumi, dan kau datang tanpa menyekutukan-Ku dengan sesuatu pun, sungguh Aku akan mendatangimu dengan ampunan sepenuh bumi pula.” (H.R. Tirmidzi, hasan)
Ini adalah berita gembira bagi hamba yang berlumuran dosa agar tidak berputus asa dari ampunan dan rahmat Allah. Rahmat Allah dan ampunan-Nya begitu luas bagi pelaku dosa. Allah Swt menyifati diri-Nya dalam nama Al ‘Afuwwu (Maha Pemaaf) dan Al Ghofur (Maha Pengampun), dan keduanya sudah cukup sebagai jaminan ampunan. Jadi janganlah berputus asa dan segeralah bertobat. <Sumber: Majalah Hadila Edisi Februari 2020>