Sumber gambar: 5dwallpaper.com
Hadila.co.id — Dia adalah pribadi menawan; sebab cinta dan perhatiannya pada setiap insan, berhulu dari ketulusan. Dia menguasai kaidah penting pergaulan. Tidak menghabiskan waktu membuat orang terpesona padanya, tetapi ‘memesona’ orang dengan ketertarikan dan perhatiannya pada orang lain.
Sebuah kisah di Thaif, membingkainya. Saat ditolak pemimpin Thaif, dia tetap berupaya menyampaikan risalah. Maka murkalah orang-orang atas seruannya. Mereka mencerca, meneriaki, mengejar, melempari batu, menghinakan, dan mengusirnya. Tubuhnya lebam, kakinya luka. Tertatih Dia hampiri sebatang pohon anggur di kebun Utbah ibn Rabi’ah. Beristirahat meredakan rasa sakit, zahir, maupun batin. Dengan senyum tengadah ke langit, segala aduan tertuju pada PenciptaNya.
Utbah pun merasa iba. Diperintahkanlah Addas, memberinya setandan anggur. Dia menerimanya dengan senyum, “Siapakah namamu wahai saudara yang mulia?”
“Namaku Addas, pembantu Tuan Utbah.”
“Bismillahirrahmanirrahim,” ucapnya memetik sebulir anggur seraya mengulurkan anggur menawari Addas. Addas menggeleng dan tersenyum. “Kata-kata itu tak pernah diucapkan orang-orang di negeri ini,” kata Addas.
“Dari manakah asalmu hai Addas, dan apa pula agamamu?”
“Aku seorang Nasrani. Aku penduduk negeri Ninaway.”
“Oh, dari negeri seorang saleh bernama Yunus ibn Matta?” tanyanya antusias. Mata Addas mengerjap lebih antusias. “Apa yang kau ketahui tentang Yunus ibn Matta?” tanya Addas. Dia tersenyum, “Dia saudaraku. Dia seorang Nabi, dan aku pun seorang Nabi.”
Mendengar itu, Addas merengkuh kepalanya penuh cinta dan mencium tangannya dengan penuh hormat.
Dia menguasai kaidah penting pergaulan. Tidak menghabiskan waktu membuat orang terpesona padanya, tetapi ‘memesona’ orang dengan ketertarikan dan perhatiannya pada orang lain.
Kisah lain bercerita, tentang dia dan ‘Amr ibn Al ‘Ash. Belasan tahun ‘Amr menjadikan silat lidahnya sebagai senjata menentang dakwahnya. Saat kemudian ‘Amr menyatakan keislaman; dia disambut senyum, dimuliakan, dan dilayaninya bagai saudara yang dirindukan.
‘Amr merasa dirinya istimewa. Pikirnya, itu karena bakat lisannya yang bermanfaat bagi dakwah. Maka ‘Amr beranikan diri meminta penegasan, “Siapakah yang paling kau cintai?”
Dia tersenyum. “’Aisyah,” katanya. “Maksudku dari kalangan laki-laki,” kata ‘Amr.
“Ayah ‘Aisyah.” Dia terus saja tersenyum pada ‘Amr.
“Lalu siapa lagi?”
“’Umar.”
“Lalu siapa lagi?”
“’Utsman,” masih dengan senyumnya.
Setelah itu ‘Amr menghentikan tanya, takut namanya disebut paling akhir. ‘Amr tersadar, bahwa dia adalah manusia yang membuat tiap jiwa merasa paling berharga dan paling dicinta. Bukan basa-basi, karena dia tak kehilangan kejujuran saat ditanya. Dia lah Rasulullah Muhammad Saw, Sang Perajut Persaudaraan. [Dimuat Hadila Edisi Oktober 2014]