كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْصِفُ نَعْلَهُ وَيَخِيطُ ثَوْبَهُ وَيَعْمَلُ فِي بَيْتِهِ كَمَا يَعْمَلُ أَحَدُكُمْ فِي بَيْتِهِ
“Rasulullah Saw biasa menambal sandalnya; menjahit bajunya; dan melakukan pekerjaan di rumahnya sebagaimana salah satu kalian melakukannya di rumahnya.”“.
Matan hadis ini diriwayatkan oleh Ahmad bin Hanbal dalam Musnad Ash-Shiddiqah A’isyah: 25341. Al-Albani menilai hadis ini shahih. (Lihat At-Ta’liqaat Al-Hisaan ‘Alaa Shahih Ibn Hibbaan 9/186).
Hadis ini membawa pesan keteladanan Rasulullah Saw bagi para suami dan kepala keluarga. Asal muasal matan hadis ini bermula dari seorang lelaki yang sowan kepada A’isyah Ra. Dia ingin tahu lebih banyak tentang keseharian Rasulullah Saw di tengah keluarga. “Apakah Rasulullah Saw terbiasa melakukan suatu pekerjaan di rumahnya?” tanyanya dengan penuh keingintahuan.
Senada dengan hadis ini, Ibnu Hibban menceritakan bahwa suatu ketika Urwah bertanya kepada ‘Aisyah tentang keseharian Rasulullah Saw saat berada di rumah. “Wahai ibunda kaum mukminin, apakah yang dikerjakan oleh Rasulullah Saw saat di rumah bersamamu?” tanya Urwah. “Beliau melakukan seperti apa yang dilakukan salah seorang dari kalian jika sedang membantu pekerjaan keluarganya. Beliau menambal sandalnya; menjahit bajunya; dan mengangkat air di ember,” jawab Aisyah Ra.
Cerita ini menggambarkan semangat para sahabat Rasulullah Saw dalam menuntut dan menyebarkan ilmu pengetahuan. Setidaknya, ada dua hal yang menguatkan gambaran ini. Pertama, semangat para sahabat dalam menggali sunah Rasulullah Saw dan meneladaninya. Kedua, peran ummul mu’minin, Aisyah Ra dalam menjelaskan kebiasaan Rasulullah Saw di tengah rumah tangganya. Ini merupakan penunaian amanah Allah Swt dalam firman-Nya, “Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu dari ayat-ayat Allah dan hikmah (sunnah nabimu).” [Q. S. Al-Ahzab (33): 34]
Agama Islam bukan sekadar keyakinan dan teori. Ia mencakup keyakinan dan perilaku serta teori dan praktik. Untuk itulah, Allah Swt mengutus para nabi dan rasul. Selain sebagai utusan yang membawa ajaran agama, mereka juga membawa misi sebagai qudwah basyariyah (teladan bagi manusia). Mereka menyampaikan risalah dan memberikan teladan kepada umatnya bagaimana mengejawantahkan risalah tersebut dalam kehidupan. Di antara para nabi dan rasul teladan tersebut terdapat Muhammad Saw.
Allah Swt berfirman, “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” [Q. S. Al-Ahzab (33): 21]
Hadis ini mengisahkan aktivitas Rasulullah Saw saat berada di rumah. Sebagai kepala rumah tangga dan suami bagi istrinya, Rasulullah Saw betul-betul menjadi teladan bagi umatnya. Selama bisa memenuhi hajatnya sendiri, beliau tidak minta dilayani. Selama bisa membantu pekerjaan keluarganya, beliau membantunya. Beliau betul-betul ingin memuliakan keluarganya. Beliau tidak ingin membebani keluarganya. Ini terjadi karena tingginya kemuliaan akhlak yang beliau miliki.
Tak salah kalau beliau menuturkan bahwa beliau orang yang paling baik akhlaknya terhadap keluarganya. “Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap keluarganya, dan aku adalah yang paling baik terhadap keluargaku,” [HR. Tirmizi]
Begitulah, Rasulullah Saw telah menunaikan perintah Allah Swt agar para suami memperlakukan istrinya dengan baik [Q.S. An-Nisa (4): 19]. Pada saat yang sama, beliau telah memberikan keteladanan kepada umatnya.
Sisi lain yang sangat menonjol dari hadis ini ialah kebersahajaan Rasulullah Saw. Bagaimana tidak? Beliau penghulu para nabi dan rasul, orang yang paling berpengaruh dalam sejarah dunia, dan pemimpin yang disegani oleh kawan dan lawan. Kendati demikian, beliau menambal sandalnya sendiri; menjahit pakaiannya sendiri; mengangkat ember; dan membantu pekerjaan keluarganya.
Kebersahajaan ini sekaligus menunjukkan kemanusiaan Rasulullah Saw. Beliau betul-betul manusia seperti yang lain. Bedanya, beliau mendapatkan wahyu sedangkan yang lain tidak. Allah Swt berfirman, “Katakanlah: Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa.” [Q.S. Al-Kahfi (18): 110].
Ini semua semakin menguatkan peran keteladanan Rasulullah Saw bagi manusia. Beliau memiliki keluhuran budi yang luar biasa. Pada saat yang sama, beliau adalah seorang manusia. Kemanusiaannya memungkinkan bagi semua manusia untuk meneladaninya. Wallaahu a’lam bishshawab.
[Penulis: Tamim Aziz, Lc., M.P.I., pengajar di Ma’had Abu Bakar dan FAI Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS). Dimuat di Majalah Hadila Edisi November 2014]