Saat Buah Hati Tak Kunjung Hadir, Bagaimana Menyikapinya?

Saat Buah Hati Tak Kunjung Hadir, Bagaimana Menyikapinya?

“Maka Allah menerimanya dengan baik dan membesarkan Maryam dengan baik, serta menyerahkan pemeliharaannya kepada Zakariya. Setiap kali Zakariya masuk menemuinya di mihrab, dia dapati makanan di sisinya. Dia berkata, ‘Maryam, dari mana ini kau peroleh?’ Maryam menjawab, ‘Itu dari Allah.’ Sesungguhnya Allah memberi rezeki kepada siapa yang Dia kehendaki tanpa perhitungan. Di sanalah Zakariya berdoa kepada Rabb-nya, ia berkata, ‘Ya Tuhanku, berilah aku keturunan yang baik dari sisi-Mu, sesungguhnya Engkau Maha Mendengar doa.’ Kemudian para malaikat memanggilnya, saat ia berdiri melaksanakan salat di mihrab, ‘Allah menyampaikan kabar gembira kepadamu akan kelahiran Yahya, yang menjadi pembenar firman Allah, panutan, terjaga dari hawa nafsu dan seorang Nabi di antara orang-orang saleh.” (Q.S. Ali Imran: 37-39)

 Setelah apa yang dilakukan oleh istri Imron, dari berdoa ingin punya anak, lalu hamil, bernazar anaknya akan menjadi “Muharrar,”  memberinya nama Maryam dan memohon perlindungan untuknya dan keturunannya; Allah pun menjawabnya, “Menerimanya dengan penerimaan yang baik dan menumbuhkannya dengan pertumbuhan yang baik.”

Di antara bentuk “Qobul Hasan” dan “Nabat Hasan” itu, hingga kemudian Maryam menjadi sosok perempuan ahli ibadah yang melahirkan Nabi Isa; adalah dengan diasuhnya Maryam oleh Zakaria di lingkungan Baitul Maqdis.

Zakaria sendiri adalah seorang Nabi yang merupakan menantu Imrān, yaitu suami dari putri sulung Imran yang bernama Asyyā’. Ibnu Katsir dalam tafsirnya menyebutkan dua riwayat mengapa akhirnya Zakariya lah yang merawat Maryam. Pertama, karena Imrān wafat dan Maryam menjadi yatim. Kedua, karena ketika itu Bani Israil dilanda bencana atau kekeringan.

Dalam Surah Ali Imran juga diisyaratkan bagaimana orang-orang ketika itu memperebutkan pengasuhan Maryam, kemudian mereka membuat semacam undian dengan pena, yang pena itu pun mengarah kepada Zakariya. Allah berfirman, “Itulah sebagian dari berita-berita gaib yang Kami wahyukan kepadamu (Muhammad), padahal engkau tidak bersama mereka ketika mereka melemparkan pena mereka (untuk mengundi) siapa di antara mereka yang akan memelihara Maryam. Dan engkau pun tidak bersama mereka ketika mereka bertengkar.” (Q.S. Ali Imrān: 44)

Di antara para Nabi dan Rasul yang Allah uji dengan lama tidak diberi karunia anak adalah Nabi Zakariya. Ada yang menyebutkan bahwa hingga usianya mencapai 90 tahun, Nabi Zakaria belum juga punya anak. Ia pun merasa sudah tidak ada harapan lagi untuk punya anak dengan perkataannya, “Bagaimana aku bisa punya anak, sedangkan aku sudah lanjut usia dan istriku mandul?” (Q.S. Ali Imron: 40)

Kemudian Nabi Zakaria mempunyai kesempatan untuk mengasuh Maryam, yang merupakan adik dari istrinya (dalam riwayat yang lain istrinya adalah bibinya Maryam). Ternyata, ini adalah jalan baginya untuk kemudian hari mendapatkan karunia anak biologisnya sendiri. Dimana saat Zakaria melihat mukjizat yang Allah berikan kepada Maryam berupa makanan yang selalu ada di mihrabnya, ketika itu juga muncul harapannya untuk kembali punya anak. Terutama ketika Maryam mengucapkan, “Itu dari Allah. Sesungguhnya Allah memberi rezeki kepada siapa yang Dia kehendaki tanpa perhitungan.”

Kisah ini memberi pelajaran besar buat kita bahwa saat kita diuji tidak punya anak, kita bisa mengasuh anak orang lain. Ini karena hakikat mempunyai anak bukan sekadar melahirkan, tetapi juga pengasuhan. Dari situlah pahala sebagai orang tua tetap bisa kita dapatkan meskipun bukan darah daging kita sendiri. Selain itu, dengan mengasuh anak orang lain, itu adalah proses latihan dan pengkondisian agar kita lebih siap menerima amanah mempunyai anak.

Jalan Nabi Zakariya selanjutnya untuk mendapatkan anak sesuai yang diceritakan dalam ayat di atas, adalah dengan berdoa. Saat melihat mukjizat yang diterima oleh Maryam di Mihrab-nya, ia pun segera berdoa di Mihrab tersebut, “Wahai Rabb-ku, berilah aku keturunan yang baik dari sisi-Mu, sesungguhnya Engkau Maha Mendengar doa.” Di sini pelajaran besar bagi kita untuk tidak pernah putus harapan kepada Allah dan tak pernah henti untuk berdoa.

Disebutkan juga dalam surah yang lain, cara Nabi Zakariya yang lain adalah mengaitkan harapannya mempunyai anak dengan posisinya sebagai seorang Nabi dan tugasnya menjaga Baitul Maqdis, yaitu dengan doanya, “Ya Tuhanku, sesungguhnya tulangku telah lemah dan kepalaku telah ditumbuhi uban, dan aku belum pernah kecewa dalam berdoa kepada Engkau, Ya Tuhanku. Dan sesungguhnya aku khawatir terhadap mawaliku sepeninggalku, sedang istriku adalah seorang yang mandul, maka anugerahilah aku dari sisi Engkau seorang putra, yang akan mewarisi aku dan mewarisi sebagian keluarga Ya’kub dan jadikanlah ia, ya Tuhanku, seorang yang diridai.” (Q.S. Maryam: 4-6)

Hal tersebut juga pelajaran besar bahwa dalam doa meminta keturunan, pentingnya “merayu” dan “berargumentasi” kepada Allah mengapa kita menginginkan anak keturunan, karena di sini ada proses perbaikan niat dan pelurusan orientasi. Tentu selain menetapi adab-adab berdoa seperti: merendah, merasa tak berdaya, dengan suara lirih, tak berhenti berdoa dan tetap berhusnuzhon kepada Allah, sebagaimana dicontohkan Nabi Zakariya dalam ayat-ayat berikutnya.

Hingga kemudian Allah berikan kepada Nabi Zakaria kabar gembira akan hadirnya seorang anak yang dinamai Yahya. Bukan hanya anak biasa, bahkan ia adalah seorang Nabi yang akan mewarisi perjuangannya. Sebagaimana Allah firmankan, “Kemudian para malaikat memanggilnya, saat ia berdiri melaksanakan salat di mihrab, ‘Allah menyampaikan kabar gembira kepadamu akan kelahiran Yahya, yang menjadi pembenar firman Allah, panutan, terjaga dari hawa nafsu, dan seorang nabi di antara orang-orang saleh.”

Selain istiqomah berdoa dan mengasuh anak orang lain, banyak jalan ikhtiar lain yang bisa kita tempuh untuk bisa mempunyai anak seperti: terapi shodaqoh, terapi istigfar, terapi zam-zam, atau dengan mendoakan orang lain yang sedang diuji dengan ujian yang sama, dimana karenanya kita akan didoakan oleh para malaikat dengan doa yang sama yang kita panjatkan. Tentu itu semua perlu dibarengi dengan ikhtiar pengobatan dan penyembuhan secara medis. Intinya, teruslah berusaha dan yakinlah Allah tidak akan menyia-nyiakan usaha kita.

Sebagaimana dijelaskan oleh As-Sa’di dalam tafsirnya, tentang jawaban Allah atas keraguan Zakaria bahwa ia akan punya anak; adalah penegasan dari Allah bahwa Ia Mahakuasa untuk melakukan apa saja yang Ia kehendaki, meski kadang sebabnya tak bisa dilogika oleh manusia. Termasuk tanda kebenaran berita itu (Nabi Zakaria tidak akan bisa bicara dengan manusia), juga mengajarkan bahwa meski sebab-sebab keluarnya suara itu ada, tetapi jika Allah tidak mengizinkan, maka tidak akan bisa.

Seandainya Allah berkehendak untuk tetap tidak memberi karunia anak, yakinlah bahwa itu adalah takdir yang terbaik (kullu mā qoddarāllahu khair). Karena tidak semua anak akan membawa kebaikan bagi orang tuanya. Mengingat anak adalah ujian bagi orang tuanya. Apalagi jika orang tua tersebut tidak amanah dalam mendidiknya, maka anak hanya akan menjadi nestapa di dunia dan akhirat sana.

Perlu disadari, bahwa mempunyai anak itu tidak harus secara biologis. Saat jalan dan harapan seolah tertutup, kita tetap bisa mempunyai anak secara ideologis. Baik dengan mengasuh anak orang lain, atau dengan mengajarkan ilmu dan mendidik generasi penerus. Merekalah yang akan menjadi sungai-sungai yang akan terus mengalirkan pahala jariah yang tiada henti.

Sebagaimana kisah Nabi Zakaria di atas, seandainya kemudian ia tidak diberi karunia anak biologis yang bernama Yahya, maka dengan mengasuh Maryam sebagai anak ideologis yang berhasil ia didik menjadi seorang ‘Abidah Murobbiyah yang lahir Nabi Isa dari rahimnya; itu lebih dari cukup sebagai karunia besar yang tak ternilai harganya. < Oleh: Dr. Hakimuddin Salim, Lc. MA. (Direktur Ponpes Ibnu Abbas Klaten>

Berita Lainnya

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked with *

Latest Posts

Top Authors

Most Commented

Featured Videos