Hadila.co.id — “Apa yang kamu lakukan!” gelegar bentakan seketika membuat anak kecil itu ketakutan.
“Bukankah tadi aku sudah mengingatkanmu untuk menjaga api suci ini?” bentak lelaki yang lebih tua darinya itu lagi.
Ragu-ragu, dengan suara memelas, sang anak berkata bahwa ketika masuk ruangan itu, dia selalu ingin tidur. Setelah kata itu keluar terucap, kepada sosok lelaki dewasa di depannya. Anak itu kembali berkata sesuatu yang membuat lelaki dewasa itu naik pitam. Kata ‘Tidak ingin menjadi kepala suku.’
Lelaki dewasa di depannya semakin gusar tatkala dia membantah. Sang ayah tak habis pikir, bagaimana bisa anak yang dibesarkannya menolak sesuatu yang menjadi cita-cita setiap anak di negeri mereka. Ya, lelaki dewasa itu adalah ayahnya. Ayah yang senantiasa percaya bahwa menjadi kepala suku akan selalu disegani dan berpengaruh.
“Bagaimana bisa orang-orang menyembah api yang tidak bisa mendatangkan manfaat dan menimpakan bahaya bagi mereka?” anak itu berkata sendiri, usai ayahnya meninggalkannya.
“Tidak. Mustahil aku menyembahnya!” katanya berteriak-teriak, membuat ayahnya kembali lagi menghampirinya.
“Apakah kamu gila, wahai Salman! Hentikan kebodohanmu itu, atau kau akan celaka!” gusar ayahnya setiba di depan sang anak, membuat Salman diam seketika. Ya, anak kecil itu adalah Salman Al Farizi.
Bertemu pendeta
Ayah Salman semakin gusar. Dia lantas mengikat Salman agar tidak berbuat yang macam-macam lagi. Namun, tak berapa lama dia dibebaskan atas usul sang bunda. Sebagai gantinya, Salman harus mengurus ladang milik keluarganya yang letaknya cukup jauh. Sang bunda yakin, jika Salman sibuk, pikiran anehnya akan teralihkan. Salman setuju. Hari-harinya lantas dia habiskan untuk ke ladang.
Suatu ketika, sepulang dari ladang, di tengah pejalanan dia melihat sebuah gereja. Dia pun tertarik untuk memasukinya. Dia tertarik untuk belajar. Sementara itu, di rumah ayah dan bundanya merasa khawatir karena Salman belum juga pulang hingga malam. Kekhawatiran itu lantas buyar tatkala Salman tiba di hadapan mereka.
Usai bertanya dengan apa yang telah dilakukan Salman hingga pulang terlalu malam, kedua orangtua itu merasa kaget mendengar apa yang dikatakan anaknya. Mereka mendapati Salman ‘jatuh cinta’ dengan cara beribadah umat lain. Sang ayah naik pitam, lantas mengikat, bahkan menahannya.
Salaman yang hatinya telah dipenuhi rasa ‘cinta’ baru, menberontak. Dia berusaha kabur dari rumah, dan usahanya ini berhasil. Salman terus berlari dan pergi ke Syiria. Di sini, dia belajar dari seorang pendeta yang Zuhud. Salman terus berguru, hingga sang pendeta meninggal. Sebelum meninggal, pendeta itu menyarankan pendeta lain kepada Salman, untuk dia berguru.
Salman Al Farisi berganti pendeta sebanyak beberapa kali. Sampai tatkala pendeta terakhir akan meninggal, dia berpesan pada Salman,
“Kini tiba waktunya muncul nabi yang ditunggu-tunggu. Dia muncul dari Negeri Arab untuk menyempurnakan risalah Isa As. Dialah nabi terakhir di bumi.”
Pendeta kemudian menyampaikan 3 ciri nabi teakhir ini, yaitu; tidak memakan hasil sedekah, mau memakan makanan hadiah, dan ada cap kenabian di pundaknya.
Pencarian
Berbekal pesan pendeta terakhirnya, Salman memutuskan mencari sang nabi terakhir. Dia berencana pergi ke Arab. Dalam perjalanan, dia mencoba mencari rombongan dagang Arab yang bisa ditumpangi dan akan menjadi teman perjalanannnya.
Setelah meminta izin pada serombongan kafilah Arab, Salman melakukan perjalanan besarnya. Hingga di tengah perjalanan, orang yang memberinya tumpangan berkhianat.
Dia menangkap Salman dan menjualnya sebagai budak. Ya, Salman akhirnya menjadi budak bagi seorang Yahudi Madinah. Dia ditugaskan menjaga ladang kurma.
Suatu hari ketika ada di atas pohon, Salman melihat Usaid, sepupu tuannya berlari sembari teriak-teriak.
“Ada apa Usaid?” majikan Salman bertanya.
Usaid lantas menceritakan berkumpulnya Suku Khazraj dan Aus seperti saudara. Padahal sebelumnya mereka bermusuhan. Kedua suku itu berkumpul di Quba’ untuk menunggu seorang bernama Muhammad bin Abdullah. Muhammad, lelaki yang mengaku menjadi nabi terakhir dan membawa risalah Isa dan Musa.
Penjelasan Usaid spontan membuat Salman bergetar. Dia yang ada di atas pohon hampir saja jatuh. Salman lantas bergegas turun dan menanyakannya langsung pada Usaid. Namun, sepertinya apa yang dia lakukan tak disenangi sang majikan. Salman dipukul dan diminta kembali bekerja.
Menemukan
Malam tiba, bersegera Salman menuju Quba’ membawa makanan. Setiba di Quba’, matanya menyisir sekeliling dan didapatilah Nabi Saw ada di antara mereka.
Berhati-hati Salman mendekat. Di hadapan Rasulullah, Salman kemudian menyerahkan makanan itu.
“Makanan ini sebagai sedekah,” begitu kata Salman kepada Rasulullah.
Mendengarnya, Rasulullah Saw kemudian memanggil para sahabat dan membagikannya, tanpa sedikit pun beliau mengambilnya.
“Oh, ini satu tandanya,” batin Salman.
Di hari lain, Salman datang dengan membawa makanan lagi. Dia lantas menyerahkannya kepada Rasulullah dan mengatakan bahwa makanan itu adalah hadiah. Saat itu juga, Salman dapati bahwa beliau membagikan makanan itu kepada para sahabat. Beliau pun turut memakan makanan tersebut.
“Oh, ini tanda kedua,” batin Salman lagi.
Hingga, tahulah Salman bahwa lelaki yang selama ini dicarinya kini telah ada di depan mata, tatkala dia melihat kain penutup pundak Rasulullah Saw tertiup angin.
Menangislah Salman melihat tanda kenabian itu. salman lantas memeluk Islam usai pencarian panjangnya. Dia pun menceritakan perjalanan panjangnya kepada Rasulullah Saw.
Penulis: Rahmawati Eki
sumber: Sirah Sahabat.