Oleh: Dr. Hakimuddin Salim, Lc. MA. (Doktor Ushul Tarbiyah Universitas Islam Madinah)
قال الله تعالى: وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا ۚإِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا * وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا (الإسراء: ٢٣-٢٤)
“Rabb-mu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain-Nya dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu dan bapakmu. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah, “Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil.” (Q.S. Al-Israa’: 23-24)
Ayat di atas berisi tentang perintah untuk mentauhidkan Allah Ta’ala dan berbuat baik kepada orang tua, terutama saat orang tua dalam kondisi sudah lanjut usia. Ayat di atas sangat penting untuk ditadaburi, karena sangat erat hubungannya dengan pendidikan anak kita.
Berbakti kepada kedua orang tua (birrul walidain) adalah sebuah kewajiban yang Allah perintahkan kepada semua anak. Saking dahsyatnya perintah ini, Allah menyebutkannya dalam ayat di atas berbarengan dengan perintah mentauhidkan-Nya, “Rabb-mu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain-Nya dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu dan bapakmu.”
Sebaliknya, durhaka kepada kedua orang tua (‘uququl walidain) merupakan salah satu dosa besar, bahkan yang terbesar setelah syirik. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Apakah kalian mau aku beritahu dosa yang paling besar?” Para Sahabat pun menjawab, “Tentu, wahai Rasulullah.” Beliau pun bersabda, “Yaitu menyekutukan Allah dan durhaka kepada kedua orang tua.” (H.R. Bukhari)
Jika anak adalah ujian bagi orang tuanya, maka begitu juga sebaliknya, orang tua juga merupakan ujian bagi anaknya. Terutama saat mereka sudah lanjut usia, dimana kelakuannya akan kembali seperti anak kecil. Maka dalam ayat di atas ditekankan bagaimana berbuat ihsan kepada orang tua yang sudah lanjut usia: tidak mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” atau yang lebih parah dari itu, tidak membentak mereka, selalu mengucapkan perkataan yang menyenangkan hati mereka, merendahkan diri kepada mereka, dan mendoakan rahmat atas mereka.
Dalam ayat di atas, kalimat “Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu,” menunjukkan bahwa saat orang tua kita sudah lanjut usia, kebanyakan kita sebagai anak juga sudah dewasa, sudah menikah, bahkan sudah punya anak juga. Jadi posisi kita adalah anak sekaligus orang tua. Di sinilah berbakti kepada mereka menjadi lebih penting lagi, bukan hanya karena di usia itu mereka sangat butuh perhatian dan bakti dari kita, tetapi juga karena kita sebagai orang tua harus bisa memberi qudwah (keteladanan) kepada anak-anak kita dalam melakukan birrul walidain.
Maka, seperti apa kita berbuat ihsan kepada orang tua kita, menjadikan mereka prioritas kehidupan, mencurahkan segenap perhatian, melimpahkan kasih sayang, bersabar atas perubahan perilaku mereka; seperti itulah yang akan terekam di benak anak-anak kita dan seperti itu pula yang akan mereka lakukan kepada kita, ketika kita lanjut usia nanti. Kisah nyata dalam hal ini banyak sekali.
Selain karena soal qudwah (keteladanan), hal ini juga karena sudah menjadi sunatullah, bahwa seperti apa kita memperlakukan, begitulah kita akan diperlakukan. Diriwayatkan dari Abu Qilabah, “Kebajikan itu takkan pernah lekang, dosa tak kan pernah terlupakan, sedangkan Allah Yang Maha Kuasa takkan pernah mati, maka lakukan sesukamu, karena sebagaimana engkau memperlakukan, maka demikian pulalah engkau akan diperlakukan.” (Imam Baihaqi dalam Az-Zuhd)
Ibnu Qoyyim Al-Jauziyah menjelaskan, “Syariat dan takdir Allah telah menunjukkan, bahwa balasan atas sebuah amalan itu akan sesuai dengan jenis amalan tersebut” (Miftah Darus Sa’adah: 1/71). Hal ini merupakan wujud keadilan Allah Ta’ala, sebagaimana dalam firman-Nya, “Dan adakah balasan bagi kebajikan selain kebajikan pula.” (Q.S. Ar-Rahman: 60). Juga dalam firman-Nya, “Barang siapa berbuat yang baik, maka baginya kebaikan sepuluh kali lipat amalnya; dan barang siapa berbuat jahat, maka dia tidak diberi balasan melainkan semisal dengan kejahatannya, sedang mereka tidak dizalimi sedikit pun.” (Q,S. Al-An’am: 160).
Apalagi jika balasan itu terkait dengan hak orang tua, di mana sebagian balasannya akan disegerakan di dunia. Rasulullah Saw bersabda, ”Setiap dosa, Allah Ta’ala akan mengakhirkan balasannya, sebagaimana yang ia kehendaki hingga hari kiamat. Kecuali durhaka kepada kedua orang tua, sesungguhnya Allah menyegerakan balasannya bagi pelakunya saat hidup di dunia sebelum wafat.” (H.R. Thabrani dan dishahihkan oleh Al-Hakim)
Ada satu lagi tadabur penting dari ayat di atas. Di akhir ayat tersebut, Allah perintahkan seorang anak untuk mendoakan orang tua dengan redaksi, “Wahai Tuhanku, kasihilah mereka berdua, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil.” Di sini memberi pelajaran yang sangat penting buat kita para orang tua, bahwa kasih sayang Allah dalam doa tersebut, dimintakan dengan syarat dan ukuran sejauh mana kita mendidik anak-anak kita. Maka kalau kita ingin mendapatkan rahmat dengan kadar maksimal sebagaimana yang mereka doakan, tidak ada jalan lain kecuali memaksimalkan tarbiyah kita kepada mereka. <>