Seberapa Penting Komitmen dan Visi Berkeluarga?

Seberapa Penting Komitmen dan Visi Berkeluarga?
Sumber foto: shutterstock

Hadila – Air kran mengucur deras dari dalam kamar mandi. Sayup-sayup azan subuh mulai terdengar dari toa masjid di kejauhan, disusul suara azan dari masjid terdekat. Udara pagi itu cukup dingin, membuat siapa saja ingin tetap meringkuk di bawah selimut hangat. Namun tangan segar milik seorang muslimah asal Soloraya, Wahyuni, 55, yang sudah terbasuh air wudu itu segera menggapai punggung suaminya tercinta dengan lembut. Ia kemudian membisikkan ajakan untuk mendirikan kewajiban salat berjamaah ke masjid terdekat. Tak lupa ia juga membisikkan hal yang sama kepada buah hati mereka.

Hal itulah yang menjad rutinitas Wahyuni, hampir setiap hari. Dengan caranya, Wahyuni dan suaminya menerjemahkan romantisme pasangan suami istri, bukan dengan saling memberikan bunga mawar atau menyampaikan kata-kata buaian setiap waktu. Romantisme bagi Wahyuni yaitu ketika ia dan suaminya terus bergandengan tangan, saling menguatkan, saling mengingatkan agar keduanya senantiasa dekat dengan Sang Maha Pencipta. Ia pun selalu berharap bisa terus bersama suaminya tercinta, melakukan hal-hal menyenangkan lainnya bersama-sama, hingga kelak sama-sama menapakkan kaki di surga-Nya.

Tentu saja, 26 tahun perjalanan pernikahan Wahyuni dan suaminya, bukanlah sebuah perjalanan mulus tanpa hambatan. Ada banyak suka duka yang dirasakan bersama sejak masa awal pernikahan. Ada serangkaian peristiwa terjadi yang seolah ingin menguji sejauh mana komitmen Wahyuni dan suaminya untuk mempertahankan biduk rumah tangganya. Kadang ada tawa bahagia, kadang ada air mata. “Tidak ada rumah tangga tanpa ujian, apalagi menyatukan dua keluarga besar dari lingkungan yang berbeda,” lanjutnya.

Ia menceritakan dulu awal-awal setelah menikah, suaminya belum punya rumah sendiri. Jadilah mereka ‘nunut’ di rumah almarhum orang tua yang dihuni kakaknya dan keluarga. Hal itu mereka lakukan sambil menunggu tabungan cukup untuk mengontrak rumah.  Sampai anak pertama lahir setahun kemudian, muncul permasalahan dari kakak ipar yang ternyata merasa risih dengan keluarga kecil Wahyuni. Ia terganggu dengan suara tangisan bayi, karena kebetulan kakaknya belum dikaruniai putra setelah 5 tahun menikah. “Kakak ipar menjadi lebih moody dan labil emosinya. Saya dan suami pun paham, akhirnya dengan uang tabungan pas-pasan, bismillah kami sepakat untuk mengontrak rumah. Waktu itu rasanya plong dan bahagia meski tinggal di rumah kontrakan sederhana,” tutur Wahyuni.

Tentu tidak hanya itu saja permasalahan yang mereka hadapi. Selain dari pihak keluarga, suatu saat ada juga masalah yang datang dari lingkungan rumah. Hal itu menurut Wahyuni menjadi ujian terberat kedua. Setelah mengontrak rumah, suaminya difitnah selingkuh oleh warga. “Saya dan suami memang memiliki watak yang supel, dengan siapa pun kami mudah akrab. Suatu ketika ada tetangga saya, seorang ibu rumah tangga yang ditinggal merantau suaminya. Dia kerap minta tolong dengan saya atau suami jika memang ada kesulitan. Dengan anak-anak pun juga akrab. Jika dilihat secara fisik dan usia, dia memang lebih muda dan cantik. Suami kadang mengajaknya bercanda. Karena terlalu sering berinteraksi, tetangga yang lain berspekulasi bahwa suami menaruh rasa dengan dia. Hal ini berlarut-larut sampai menyebar di satu RT. Saya dan suami pun ngobrol serius masalah ini dan dia menegaskan tidak ada hal yang terjadi. Alhamdulillah, kami saling terbuka dan percaya. Kami pun sepakat untuk membatasi interaksi dengan orang tersebut. Alhamdulilah kami kemudian mendapat rezeki lebih sehingga bisa membeli rumah di kawasan lain, sehingga fitnah tersebut bisa dipatahkan,” ungkapnya.

Menurut Wahyuni, kunci menjaga romantisme adalah komunikasi. “Romantis cara kami tidaklah seperti pasangan di drama atau sinetron yang membawa bunga atau makan malam dengan candle light. Tapi ketika kami bisa duduk bersama membicarakan banyak hal, bahkan membicarakan hal-hal ringan, bagi kami itulah hal romantic yang selalu saya rindukan,” ujarnya.

Saling terbuka dan ngobrol, ujarnya, adalah kunci Wahyuni dan suami dalam mengarungi rumah tangga hingga bertahan selama 26 tahun lebih. Ia pun berharap rumah tangganya terus bertahan hingga maut memisahkan. Wahyuni berkomitmen untuk mengupayakan hal itu meski kadang ia harus menurunkan ego pribadinya. Sebisa mungkin setelah seharian beraktivitas di luar, Wahyuni dan suaminya berusaha menyempatkan waktu barang sejenak untuk ngobrol menceritakan hal-hal apa saja yang terjadi. Ketika ada anak-anak, ruang tengah keluarga menjadi tempat bercengkerama. “Mungkin sesekali keluar bersama untuk sekadar makan malam. Kami juga terus bersyukur dan mengurangi keluh-kesah, jika ada masalah dibicarakan. Setiap nikmat yang diberikan menjadikan kita terus mendekatkan diri pada Allah Swt. Saya sering mengingatkan suami untuk salat berjamaah di masjid,” ujarnya.

Sebagai istri, Wahyuni mengaku tidak mengekang hobi atau kegemaran suaminya, selama itu masih dalam koridor yang wajar. Begitu juga sebaliknya. “Kebetulan suami senang olahraga voli, jadi setiap sore beliau pasti bermain dengan para tetangga. Selama komunikasi berjalan baik dan saling terbuka, insya Allah romantisme dalam pernikahan itu akan terbina dan terus terpupuk dengan sendirinya,” terangnya.

Muslim lainnya, Enriko, 29, mengungkapkan  dalam berumah tangga tentu saja mengalami suka dan duka secara bergiliran. Ada kalanya bahagia bersama, ada kalanya sedih bersama. Adakalanya terjadi selisih paham sehingga terjadi pertengkaran. “Jika terjadi masalah, kami biasanya ada salah satu pihak yang mengalah. Karena kalau tidak ada yang mau mengalah, tidak akan selesai pertengkarannya,” ujarnya.

Sebagai suami, Enriko mengaku senang jika bisa memenuhi keinginan istri dan anak, senang membuat mereka bahagia dan tersenyum. “Keinginan itu membuat saya semakin bersemangat untuk mencari nafkah bagi keluarga,” ujarnya.

Menurut Enriko, kunci menjaga keharmonisan keluarga harus dilandasi sikap saling pengertian, saling rendahkan egoisme masing-masing, jangan mau menang sendiri. “Kalau ada masalah, jaga komunikasi. Menyadari juga bahwa ikatan pernikahan adalah ikatan suci yang sangat agung. Maka kami berusaha terus mempertahankan ikatan ini, meski aneka masalah datang menghadang,” terangnya.

Psikolog asal Yogyakarta, Diana Setyowati mengungkapkan hadirnya orang ketiga dalam rumah tangga terjadi karena  kurangnya komitmen dan visi berkeluarga. Agar sebuah keluarga terhindar dari kehadiran orang ketiga, Diana menyarankan agar seorang muslim kembali kepada aturan agama Islam. Yakni kaidah untuk senantiasa menjaga pandangan, menghindari zina, menjaga nilai-nilai interaksi baik secara online maupun offline. Hal yang tak kalah penting yaitu adanya komunikasi yang baik antara suami dan istri.

“Agar ikatan cinta tetap kuat meski sudah lama menikah, pasangan suami istri harus selalu menjaga komunikasi, membangun family time dan memperkuat visi berkeluarga,” ujarnya. <Eni/Afroh Elyfa/Dina-Dimuat di Majalah Hadila Edisi Januari 2020>

 

 

 

Berita Lainnya

Latest Posts

Top Authors

Most Commented

Featured Videos