إِذَا تَزَوَّجَ الْعَبْدُ فَقَدْ كَمُلَ نِصْفُ الدِّينِ فَلْيَتَّقِ اللهَ فِي النِّصْفِ الْبَاقِي
“Ketika seorang hamba menikah, sungguh telah genap separuh agamanya. Maka hendaknya dia bertakwa kepada Allah dalam separuh yang tersisa.”
Matan hadis ini ditulis oleh Baihaqi dalam Syu’ab Al-Iman. Terdapat dalam Bab Tahrim Al-Furuj Wa Ma Yajibu At-Ta’affuf ‘Anha, Pasal Fi At-Targhib Fi An-Nikah Lima Fihi Min Al-‘Aun ‘Ala Hifzh Al-Farj: 5100. Al-Albani menilai hadis ini hasan. (Lihat Misykat Al-Mashabih: 3096).
Menikah merupakan bagian dari ajaran agama Islam. Bahkan, secara lugas, matan hadis ini menyatakan bahwa orang yang telah menikah berarti telah genap separuh agamanya. Penjelasan Rasulullah Saw ini membuka cakrawala berpikir kita tentang hakikat agama. Siapapun yang membaca matan hadis ini tentu dapat menyimpulkan bahwa agama Islam bukan sekadar menangani urusan keyakinan dan ritual belaka. Agama Islam memiliki aturan yang lengkap dengan cakupan yang luas. Salah satu buktinya ialah apa yang dibicarakan oleh matan hadis ini, yaitu masalah perjodohan laki-laki dan perempuan.
Menelisik dari asal usul maknanya, agama –yang dalam matan hadis ini diungkapkan dengan kata ad-din– berarti tata aturan, ketundukan, serta balasan baik dan buruk. Seperti itulah agama. Ia mencakup tata aturan yang mengatur manusia. Manusia harus tunduk pada tata aturan tersebut. Orang yang tunduk akan mendapatkan kebahagiaan, sedangkan yang tidak akan mendapatkan kerugian.
Seyogyanya manusia harus tunduk pada tata aturan ajaran agama Islam. Hal ini dikarenakan manusia memerlukan rambu-rambu dan arahan dalam menjalani hidupnya. Tanpa rambu-rambu dan arahan, bisa-bisa ia terperosok dalam jurang yang menjerembabkan martabatnya. Memang benar, manusia telah dibekali akal dan panca indera, tapi tak sedikit dari mereka yang gagal mempergunakannya.
Tentang hal ini, Allah Swt berfirman, “Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi Jahanam kebanyakan dari jin dan manusia. Mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakan untuk memahami; mempunyai mata tetapi tidak dipergunakan untuk melihat; dan mempunyai telinga tetapi tidak dipergunakan untuk mendengar.” [Q. S. Al-A’raf (7): 179]
Rasulullah Saw mensinyalir adanya dua hal yang paling banyak menjadikan orang tergelincir dan jatuh martabatnya. Tergelincir ke dalam neraka. Martabatnya jatuh di bawah derajat binatang. Na’udzu billah. Dua hal yang disinyalir oleh Rasulullah Saw tersebut ialah syahwat mulut dan syahwat kemaluan.
Syahwat mulut melahirkan keserakahan terhadap materi duniawi. Syahwat kemaluan mengantarkan pada kehancuran kehormatan. Kedua-duanya menimbulkan efek kerusakan dalam area yang sangat luas. Akibatnya, dunia di tangan mereka akan menjadi panggung untuk makan, minum, dan mengumbar hawa nafsu tanpa mengenal halal dan haram. Tak berbeda jauh dengan dunia binatang. Seperti itulah Allah Swt menggambarkan keadaan orang kafir dalam firman-Nya, “Dan orang-orang kafir bersenang-senang (di dunia) dan mereka makan seperti makannya binatang. Dan jahanam adalah tempat tinggal mereka.” [Q. S. Muhammad (47): 12]
Karena efek kerusakannya yang sangat fatal, mau tidak mau, kedua lubang ini harus dijaga dengan cara ditutup rapat-rapat dari hal-hal yang haram. Penjagaan ini menjadi keniscayaan agar manusia menemukan martabat kemanusiaannya. Ini bukan masalah sepele. Ini masalah besar yang membutuhkan perjuangan. Rasulullah Saw telah menjamin surga bagi orang yang mau menjaga keduanya. Beliau bersabda sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari, “Siapa yang bisa menjamin untukku apa yang ada di antara dua rahangnya (baca: mulutnya) dan apa yang ada di antara kedua pahanya (baca: kemaluannya), aku menjamin surga untuknya.”
Karena itu, Rasulullah Saw memerintahkan kepada para pemuda yang telah mampu secara fisik dan finansial untuk segera menikah agar lebih mudah menundukkan pandangan dan menjaga kehormatan. Beliau bersabda sebagaimana dituturkan ulang oleh Bukhari dan Muslim, “Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kamu yang telah mempunyai kemampuan (secara fisik dan finansial), hendaknya ia menikah, karena ia dapat menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan. Barangsiapa yang belum mampu hendaknya berpuasa, sebab ia dapat meredam (syahwat).”
Ya, pemuda yang sudah menikah lebih bisa menjaga kemaluannya dibandingkan dengan yang lainnya. Ini artinya, dia telah terbebas dari separuh masalahnya. Selanjutnya, dia tinggal menyelesaikan yang separuhnya lagi. Tinggal bagaimana dia mampu bertakwa kepada Allah Swt dalam menjaga mulutnya. Wallaahu a’lam bishshowwab.
[Penulis: Tamim Aziz, Lc., M.P.I., pengajar di Ma’had Abu Bakar dan FAI Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS). Dimuat di Majalah Hadila Edisi Februari 2015]