لِكُلِّ دَاءٍ دَوَاءٌفَإِذَا أُصِيبَ دَوَاءُ الدَّاءِ بَرَأَ بِإِذْنِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ
“Setiap penyakit ada obatnya. Jika obatnya tepat, sembuh dengan ijin Allah Azza Wajalla”
Matan hadi sini shahih. Terdapat dalam Shahih Muslim pada Kitab As-Salaam, Bab Likulli Daa’ Dawaa’ Wa Istihbaab At-Tadaawi: 2204.
Matan hadis ini berbicara urusan medis, tentang penyakit dan obat penawarnya. Ia menjadi salah satu bukti bahwa ajaran Islam bukan sekadar masalah ritual belaka, sebagaimana dugaan sebagian kalangan atau tuduhan orang-orang yang mengaku cendekiawan. Ajaran Islam itu luas dan lengkap, komprehensif. Ia mencakup seluruh urusan kehidupan manusia tanpa kecuali. Termasuk masalah kesehatan. Sekadar contoh, Islam mengajarkan cara mandi dan bersuci dari buang hajat yang bisa jadi banyak orang mengenalnya sebagai “ajaran” kesehatan. Belum lagi, ajaran tentang kebersihan secara umum, cara tidur, etika makan dan minum, dan ajaran-ajaran lainnya. Luar biasa. Rasulullah Saw telah berbicara tentang kesehatan dan mengajarkan hidup sehat jauh sebelum para dokter dan paramedis melakukannya.
Hadis ini berbicara tentang pengobatan penyakit dan menanamkan keyakinan bahwa yang menyembuhkan penyakit sejatinya ialah Allah Swt. Pengobatan merupakan ikhtiar manusiawi. Obat-obatan hanya sarana belaka. Artinya, yang dilakukan oleh manusia hanyalah sebatas usaha dan Allah Swt yang menentukan hasilnya.
Penyakit merupakan sunnah kauniyah. Siapa pun pernah mengalaminya. Bahkan, Rasulullah Saw, manusia termulia sepanjang sejarah juga pernah jatuh sakit. Setidaknya, pada hari-hari menjelang wafatnya. Bagi seorang muslim, penyakit bisa menjadi pintu untuk mendapatkan ampunan dan menggugurkan dosa-dosa. Rasulullah Saw bersabda sebagaimana diriwayatkan oleh Muslim, “Tidak ada seorang muslim pun yang ditimpa cobaan berupa sakit mau pun yang lainnya, melainkan Allah menggugurkan kesalahan-kesalahannya sebagaimana pohon menggugurkan daunnya.”
Lebih dari itu, penyakit, bagi seorang muslim juga bisa menjadi pintu untuk meraih pahala. Abu Sa’id Al-Khudzri menceritakan bahwa dia menjenguk Nabi Saw ketika sedang sakit panas. Dia meletakkan tangannya dan mendapati panas badan beliau terasa hingga di atas selimut. “Wahai Rasulullah, alangkah panasnya sakitmu,”katanya. “Sesungguhnya begitulah kita, ketika dilipat gandakan cobaanbagi kita dilipat gandakan pula pahala kita,” tegas Rasulullah Saw. Cerita ini dituturkan ulang oleh Ibnu Majah.
Kendati demikian, bukan berarti manusia harus pasrah dengan penyakit yang dia derita dan tidak melakukan ikhtiar apa pun untuk kesembuhannya. Bukan demikian. Upaya pengobatan sangat penting untuk dilakukan, terlebih jika penyakitnya berpotensi membahayakan dirinya. Dia harus pergi ke dokter atau rumah sakit untuk mendapatkan terapi atas penyakitnya. Upaya ini tidak menyalahi nilai tawakal, karena dalam tawakal harus tetap memperhatikan dan mengambil faktor-faktor keberhasilan. Inilah bedanya tawakal dengan pasrah bongkokan. Tirmidzi menceritakan bahwa suatu ketika ada seseorang bertanya kepada Rasulullah Saw, “Ya Rasulullah, apakah aku biarkan untaku dan kemudian aku bertawakal? Atau aku ikat untaku lebih dulu, baru kemudian aku bertawakal?” Beliau menjawab, “Yang tepat adalah ikatlah untamu dan bertawakallah.”
Nah dalam kaitan inilah, matan hadis yang sedang kita bicarakan ini membuka ruang harapan dan peluang kesembuhan bagi orang-orang yang jatuh sakit melalui obat-obatan. Bagaimana tidak, Rasulullah Saw telah menjelaskan dengan bahasa yang terang benderang bahwa setiap penyakit ada obat penawarnya. Bahkan diriwayatkan, dengan bahasa yang jelas, beliau memerintahkan untuk berobat. “Wahai para hamba Allah, berobatlah. Sebab Allah tidaklah meletakkan sebuah penyakit melainkan meletakkan pula obatnya,” tutur beliau saat ditanya serombongan orang Badui sebagaimana diceritakan oleh Tirmidzi, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Ahmad.
Dalam berobat ,harus disadari bahwa tingkat keberhasilannya sangat tergantung pada ijin dan kehendak Allah Swt. Artinya, meskipun sudah mengonsumsi obat-obatan yang diresepka noleh dokter, tetap harus menaruh harapan kesembuhan kepada Allah Swt. Dokter dan obat hanya perantara, yang menyembuhkan penyakit ialah Allah Swt. Inilah yang seharusnya diyakini oleh setiap orang beriman. Apa yang dikehendaki oleh Allah Swt pasti terjadi dan apa yang tidak dikehendaki oleh-Nya, pasti tidak terjadi. Di atas keyakinan inilah Nabi Ibrahim As berujar sebagaimana diceritakan oleh Allah Swt dalam Kitab-Nya, “Dan apabila aku sakit, Dialah (Allah) yang menyembuhkanku.” [Q.S. As-Syu’araa (26):80]. Wallaahua’lam bish-shawwab.
[Penulis: Tamim Aziz, Lc., M.P.I., Pengasuh Pondok Pesantren Ulin NuhaSlawi, Tegal, Jawa Tengah. Dimuat di Majalah Hadila Edisi Desember 2016]