Hadila – Dalam keluarga, pasangan suami istri seharusnya saling memberikan kesempatan dan dorongan untuk maju, berkembang, dan berprestasi. Sayangnya beberapa suami mengungkapkan “kekhawatiran” mereka atas istri yang memiliki prestasi atau karier lebih bagus darinya.
“Kamu tidak boleh melebihi saya.” Demikian pandangan sebagian suami. Suami merasa “tidak terhormat” apabila istri melebihinya dalam berbagai urusan kehidupan. Seperti misalnya, pangkat istri lebih tinggi dari suami, jabatan istri lebih tinggi, gaji istri lebih tinggi, gelar kesarjanaan istri lebih tinggi, tubuh istri lebih tinggi, dan lainnya. Sebagian suami merasa rendah dan tidak terhormat apabila dirinya dalam posisi “di bawah” istri, sehingga ia merasa harus membatasi potensi sang istri.
Padahal, tidak layak bagi suami untuk menghambat kemajuan dan perkembangan potensi istri. Pernikahan bukanlah lembaga untuk mensterilkan berbagai potensi dan prestasi salah satu pihak. Justru dengan pernikahan itu akan makin mengoptimalkan berbagai potensi kebaikan dari suami dan istri.
Bukan Persaingan, tetapi Tim
Yang harus dilakukan oleh suami dan istri adalah membuat kesepakatan cara pandang dan cara merasakan, bahwa ikatan pernikahan telah membuat mereka menjadi satu tim. Kendati terdiri dari dua pribadi yang berbeda, mereka tidak saling bersaing secara negatif atau bermusuhan satu dengan yang lainnya. Mereka adalah tim yang saling melengkapi kekurangan, saling menyempurnakan kelemahan pasangan, saling menjaga dalam kebaikan.
Apa yang dikhawatirkan suami jika istrinya memiliki berbagai posisi yang lebih tinggi dari dirinya? “Nanti dia akan mendikte dan menguasai saya,” jawab seorang suami saat saya sampaikan pertanyaan tersebut. “Nanti dia menjadi belagu dan tidak mau menurut kepada suami,” jawab suami yang lain. “Dia akan menjadi wanita bebas karena terlalu mandiri,” jawab suami yang lainnya lagi.
Nah, jadi harus dipisah antara prestasi dan sikap hidup suami-istri. Yang dikhawatirkan tadi adalah adanya perubahan sikap istri terhadap suami, apabila memiliki sejumlah prestasi yang melebihi suami. Di sisi ini perlu kembali diingatkan, bahwa suami dan istri memiliki peran masing-masing dalam rumah tangga. Peran suami dan peran istri adalah saling melengkapi, bukan saling berkompetisi secara negatif.
Karena kekhawatiran yang terjadi menyangkut perubahan sikap, suami dan istri harus sampai kepada taraf keyakinan, bahwa mereka berdua sudah “selesai” melewati hal-hal yang bersifat sangat sensitif seperti itu. Jika relasi mereka berdua masih berkutat pada hal-hal yang bersifat “perebutan” dan persaingan, seperti menang-kalah, menguasai-dikuasai, mengatur-diatur, dan seterusnya, sepertinya harus menyelesaikan dulu persoalan mendasar ini.
Relasi suami dan istri bukanlah atasan dengan bawahan, bukan majikan dengan buruh, tetapi “pasangan” dalam arti yang positif. Berpasangan, saling melengkapi, saling menjadi mitra, menjadi satu tim yang utuh.
Menemukan Format Prestasi
Sederhana saja. Suami dan istri membuat kesepakatan terkait aktivitas yang akan digeluti masing-masing, seperti bidang profesi, pilihan instansi, jenis dan tempat bekerja, lahan beramal, afiliasi organisasi, dan lain sebagainya. Hal-hal yang akan sangat menyibukkan dan menyita waktu, tenaga, serta perhatian suami serta istri. Apakah itu terkait bidang ekonomi, politik, sosial, budaya, pemerintahan, pendidikan, kemasyarakatan, atau apa saja. Penting untuk dijadikan kesepakatan bersama.
Suami bekerja mencari nafkah, berkegiatan sosial, berkegiatan di berbagai bidang kehidupan; demikian pula istri. Di mana mereka bekerja, pada bidang dan lembaga apa mereka mengabdikan potensi, menjadi penting untuk disepakati, agar masing-masing bisa saling membantu dalam meraih prestasi terbaik. Ketika kesepakatan sudah terwujud, sudah selayaknya suami dan istri saling memahami konsekuensi aktivitas pasangannya dan saling menguatkan.
Jangan pernah mengabaikan kebaikan rumah, ketika suami dan istri asyik melakukan aktivitas di luar rumah. Anak-anak adalah aset yang sangat berharga dan harus menjadi prioritas untuk mendapat perhatian serta curahan kasih sayang. Artinya, apa pun pilihan aktivitas suami dan istri, tetap memiliki perhatian dan konsentrasi membina keluarga yang harmonis, mendidik anak-anak menjadi saleh dan cerdas, sehingga semua berjalan seimbang.
Maka, apa pun pilihan format prestasi harus dihormati, selama tidak menyebabkan terlantarnya pendidikan dan perhatian terhadap anak-anak, juga tidak menyebabkan lunturnya keharmonisan hubungan dengan pasangan. Ketika suami dan istri membuat kesepakatan berbagi, misalnya suami saja yang mencari nafkah dan istri konsentrasi mengurus anak-anak di rumah, itu adalah sebuah pilihan sadar yang harus dihormati.
Dalam format kesepakatan seperti ini, salah satu titik prestasi suami adalah pada kemampuan menghasilkan nafkah untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Suami memerlukan dukungan istri untuk bisa bekerja secara optimal dan menghasilkan produktivitas yang nyata. Sedangkan salah satu titik prestasi istri adalah pada kemampuan mengelola urusan rumah tangga dan mengawal pendidikan anak. Istri memerlukan dukungan untuk bisa menjadi ibu rumah tangga yang berprestasi dan menghasilkan produktivitas tinggi.
Ketika suami dan istri bersepakat kedua belah pihak bekerja mencari nafkah untuk keluarga, aktif dalam kegiatan organisasi, dan bersedia berbagi konsentrasi untuk mengelola urusan keluarga serta anak-anak, itu pun pilihan sadar yang harus dihormati. Titik prestasi pada format kesepakatan seperti ini tentu berbeda lagi. Suami dan istri harus memiliki prestasi di tempat bekerja, di organisasi, dan di dalam rumah. Di lembaga tempatnya bekerja ada ukuran prestasi, di organisasi tempatnya mengabdi ada ukuran prestasi, demikian pula dalam membangun kebaikan rumah tangga, memiliki ukuran prestasi.
Format inilah yang harus disepakati terlebih dahulu oleh suami dan istri. Bukan berjalan sendiri-sendiri menuruti kata hati, bahkan bersaing dalam karier di tempat bekerja maupun di organisasi, sehingga saling ingin mengungguli dan ingin mengalahkan pasangannya. Suasana persaingan tidak sehat seperti itu justru akan menyebabkan hilangnya harmoni antara suami dan istri.
Bangga dengan Prestasi Pasangan
Karena para suami mampu mendorong istri sehingga berprestasi dan sebaliknya, maka yang muncul adalah perasaan bangga apabila pasangan mampu meraih prestasi tinggi. Ini bukan soal patriarki, emansipasi, feminisme, atau istilah apa pun yang sering ramai dibicarakan. Ini adalah soal merayakan keberhasilan bersama, merayakan cinta antara suami dan istri yang menyebabkan keduanya memiliki gairah hidup dan semangat melakukan yang terbaik demi keluarga. Bukan demi gengsi diri di hadapan suami atau istri.
Rayakanlah setiap keberhasilan dan capaian prestasi suami dan istri dalam suasana kehangatan cinta dan kasih sayang. Apabila suami mencapai peningkatan prestasi, itu karena dukungan dan dorongan istri serta anak-anak. Apabila istri mencapai puncak prestasi, itu karena dukungan dan dorongan suami serta anak-anak. Semua pihak merasa gembira, berbangga, dan mampu merayakannya. <Dimuat di Majalah Hadila edisi Agustus 2024>
Penulis: Cahyadi Takariawan (Direktur Wonderful Family Institute)
Leave a Comment
Your email address will not be published. Required fields are marked with *