Hadila.co.id – Suami ‘ternak teri’ alias suami nganter anak nganter istri sering digunakan sebagai candaan atau jawaban merendah bapak-bapak manakala ada pertanyaan mengenai aktivitasnya. Terlepas dari sebatas candaan, frasa tersebut merujuk pada fenomena suami tidak bekerja. Istilah nganter anak nganter istri muncul karena kemudian hanya sebatas ranah itulah aktivitas suami; di rumah, melakukan pekerjaan rumah, mengurus anak, sementara istri yang mencari nafkah keluarga.
Lalu muncul pula istilah alpha wife dan stay-at-home-dad. Alpha wife, untuk menyebut para istri yang sukses berkarier, berpenghasilan besar, sehingga menjadi breadwinner -pencari nafkah utama- di keluarganya. Stay-at-home-dad atau Bapak Rumah Tangga (BRT), untuk menyebut para suami yang tinggal di rumah, tidak bekerja; yang dalam bahasan ini diistilahkan dengan suami ternak teri.
Bapak Rumah Tangga (BRT)
Di beberapa negara barat, keberadaan BRT kian jamak. BRT dipandang sebagai solusi permasalahan, saat istri berkarier lebih cemerlang. Harian terkemuka di Inggris, Telegraph, melansir berita bahwa jumlah pria Inggris yang full tinggal di rumah untuk merawat anak meningkat 10 kali lipat (6%) dalam satu dekade terakhir. Alasan utamanya adalah penghasilan istri yang lebih tinggi. Sekian banyak wanita yang menduduki posisi penting dan berpenghasilan besar dalam karier, memicu pemikiran bahwa lebih baik wanita bekerja dan suami tinggal di rumah agar ada yang fokus mengurus anak. Menurut mereka itu hanya sebuah peralihan peran semata, tidak akan menimbulkan masalah.
Namun, benarkah demikian? Apakah fitrah suami ‘cukup’ dengan di rumah saja? Tidakkah akan terjadi penumpukan beban atau ketidakseimbangan? Masihkah suami memiliki kewibawaannya? Apakah suami-istri (sebagai orangtua) mampu menjadi role model yang baik bagi anak? Apakah keluarga akan menjadi lebih sakinah?
Salah satu fakta; sering istri pulang dari pekerjaannya (dalam model keluarga suami ‘ternak teri’) tetap harus melaksanakan peran domestik secara total. Bahkan mungkin ‘membenahi’ hasil ‘kerja’ suaminya.
Sungguh tak ada yang bisa menggantikan peran ibu, khususnya sebagai madrasah pertama bagi anak. Meski ada banyak ayah yang sangat bisa mengasuh anak. Tak ada yang seterampil, semahir, dan semultitasking istri dalam mengurus rumah. Meski banyak suami yang multiskill, lagi bergelar chef. Begitu pun, tak ada yang selincah, sefleksibel, semandiri, dan sekuat suami dalam aktivitas bekerja (luar rumah) di berbagai lini. Semua sesuai fitrah.
Mengembalikan Peran
Allah yang mengetahui segala sifat fitrah dari ciptaan-Nya, telah mengatur peran manusia, khususnya dalam konteks keluarga. Alquran jelas menyampaikan bahwa suami adalah qowwam dalam rumah tangga. Makna qowwam adalah menegakkan. Dalam konteks suami sebagai qowwam, maka ia adalah pemimpin, pembimbing, dan pemandu bagi seluruh anggota keluarga untuk menggapai kebahagiaan dunia akhirat.
Agar bisa ‘menegakkan’, suami harus tegak di atas kakinya sendiri dulu. Dia tidak bisa memberi jika tidak punya apa-apa, tidak bisa membangunkan orang lain jika dia sendiri masih ‘tidur’. Suami dituntut memiliki kemampuan mengatur, mendidik, membina, serta mengusahakan segala hal guna mencapai tujuan kehidupan rumah tangga.
Salah satu yang wajib dimiliki dalam fitrah qowwam itu adalah kemampuan menafkahi keluarga. Allah Swt berfirman: “Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang makruf...” [Q. S. Al Baqarah (2): 233]
Islam menganggap dosa besar bagi suami yang mengabaikan kewajiban ini. Rasulullah Saw bersabda: “Cukuplah dosa bagi seseorang dengan ia menyia-nyiakan orang yang menjadi tanggungannya.” [HR. Muslim]
Dalil tersebut tegas menjawab bahwa peran suami ini tidak bisa dialihtangankan oleh sebab tertentu, semisal ketidakmampuannya dalam mencukupi kebutuhan nafkah keluarga atau karena istri lebih sukses. Kemampuan memberikan nafkah memiliki korelasi dengan tegaknya qowwam suami. Sehingga paradigma suami ‘ternak teri’ atau BRT mesti diluruskan. Bukan bicara mengenai posisi fisik, melainkan bicara peran. Bukan pada posisi di rumah atau di luar rumah, melainkan pada peran yang dijalankan.
Maka, paradigma yang tepat bagi suami ‘ternak teri’ atau BRT adalah: pertama, suami yang mampu memenuhi tanggung jawab utamanya yaitu menafkahi keluarga dimana pun dia berada. Kedua, suami yang lebih concern atau memiliki porsi perhatian seluas-luasnya pada keluarga; ‘ramah’ dengan pekerjaan rumah, terampil mengasuh anak, dll. Sebanyak apapun peran domestik suami, tanggung jawab utamanya mencari nafkah tidak boleh terbengkalai. Suami ‘ternak teri’ dengan paradigma seperti ini, membutuhkan usaha yang lebih dari biasa. Karena hanya bisa maksimal dilakukan ketika memiliki kendali pada pekerjaan (mapan).
Banyak kemungkinan yang bisa dilakukan. Beberapa contoh; ayah stay at home demi anaknya yang autis, mampu menafkahi keluarga sebagai penulis produktif. Ada pula, seorang suami yang ‘mengatur’ pekerjaannya sedemikian rupa, agar bisa menjadi Ayah ASI. Ada lagi, suami yang membawa ‘karir’nya ke rumah, demi senantiasa membersamai istri dan anak.
Mereka paham bahwa istri adalah sibiran tulang, bukan ‘tulang punggung’. Bekerjanya istri adalah caranya untuk mencerdaskan diri. Juga meninggikan posisi, menjadi panutan, dan motivator bagi anak. Untuk tanggung jawab utamanya sebagai ibu.
Mereka pantas disebut superdad. Potensinya tak akan cukup terwadahi hanya dengan di rumah saja tanpa bekerja. Karena bagi mereka bekerja tak sekadar soal uang, dan di rumah tak sekadar tentang ‘ada’.
Meneguhkan Qowwam
Meski secara normatif diakui bahwa suami adalah qowwam dalam rumah tangga, namun pada praktiknya, peneguhan fungsi qowwam masih mengalami hambatan. Salah satunya dalam kondisi yang telah dibahas di atas. Dimana suami menyikapi kesuksesan istri sebagai kelumrahan, bahkan kewajiban, lalu dijadikan alasan menyerahkan tanggungjawab dan beban rumah tangga pada sang istri. Juga jika ndilalah istri yang menyikapi kelebihan potensinya dengan besar kepala hingga mengabaikan peneguhan fungsi suami sebagai qowwam.
Indikator tegaknya qowwam suami dalam rumah tangga adalah tanggung jawab, kemampuan memberikan pelayanan, dan keterampilan (skill). Sejauh mana seorang suami dapat bertanggung jawab terhadap tindakan dirinya, istri, anak-anak dan anggota keluarga lainnya, sejauh itu pula tegak keqowwamannya. Semakin luas ruang cakupan dalam melayani, semakin tegak pula keqowwamannya. Semakin kaya ia dengan keterampilan kepemimpinan (komunikasi, manajemen konflik, dll), semakin tegak pula keqowwamannya.
Istri juga memiliki peran dalam menegakkan qowwam suami. Empatinya, menjadikan harga diri suami tetap hidup. Penghormatannya menjadikan ‘dada’ suami tetap tegak. Motivasi dan kalimat-kalimat afirmatifnya membuat suami merasa penting hingga bangkit dari rasa malas. Bantuan konkritnya membuat beban suami ringan. Dan, kemauannya membersamai membuat suami berkembang.
The relation between husband and wife is like the relation between hand and eyes. If the hand gets hurts, the eyes cries. And if the eye cries the hand wipes its tears (hubungan suami istri itu seperti hubungan antara tangan dan mata. Jika tangan sakit, maka mata menangis. Dan jika mata menangis, tangan menghapus air matanya). Tanpa perlu mata menjadi tangan, atau tangan menjadi mata.<Dimuat di Majalah hadila Edisi April 2014>