Syahadatain bukanlah sekadar ucapan manis di bibir tanpa amal dalam realita kehidupan sehari-hari. Syahadatain baru akan memiliki bobotnya jika semua syaratnya dipenuhi. Para ulama mengatakan bahwa syarat diterimanya syahadatain ada tujuh yaitu; ilmu, keyakinan, ketundukan, penerimaan secara total, ikhlas, kejujuran dan cinta. Berikut, dua syarat berikutnya:
Tiga, keikhlasan yang menolak segala bentuk kemusyrikan
Ikhlas secara bahasa berarti murni, bersih dan tanpa campuran. Ibarat air asli dari mata air yang paling jernih. Secara syar’i ikhlas menjadi lawan kata dari syirik yang berarti mencampurkan keimanan dengan kekufuran; meyakini (beribadah) kepada Allah Swt sebagai Tuhan Pencipta, akan tetapi pada waktu yang sama juga beribadah (menyembah) kepada selain-Nya. Orang yang bersyahadat harus menjadi orang yang murni, bersih dan suci dari berbagai kotoran syirik, baik syirik kecil (riya’) maupun syirik besar.
Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani) divonis oleh Allah Swt sebagai oang-orang kafir karena perbuatan syirik yang mereka lakukan padahal mereka diperintahkan untuk berbuat ikhlas. “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus [Q. S. Al Bayyinah (98): 5]. Lurus yang dimaksud adalah berbuat ikhlas dan menjauhi segala bentuk kemusyrikan.
Diantara contoh perbuatan syirik yang masih marak bahkan dilestarikan oleh masyarakat kita adalah praktik memberikan sesajen berupa makanan atau hewan-hewan tertentu kepada ‘penguasa’ laut, pohon-pohon besar atau tempat-tempat yang dianggap keramat. Padahal perbuatan seperti ini adalah warisan kaum jahiliah.
Allah Swt berfirman: “Dan mereka memperuntukkan bagi Allah satu bagian dari tanaman dan ternak yang telah diciptakan Allah, lalu mereka berkata sesuai dengan persangkaan mereka: “Ini untuk Allah dan ini untuk berhala-berhala kami”. Maka saji-sajian yang diperuntukkan bagi berhala-berhala mereka tidak sampai kepada Allah; dan saji-sajian yang diperuntukkan bagi Allah, Maka sajian itu sampai kepada berhala-berhala mereka. Amat buruklah ketetapan mereka itu. [Q. S. Al An’am (6): 136]
Menurut para mufasir bahwa hasil tanaman dan binatang ternak yang mereka peruntukkan bagi Allah, mereka pergunakan untuk memberi makanan orang-orang fakir, orang-orang miskin, dan berbagai amal sosial, dan yang diperuntukkan bagi berhala-berhala diberikan kepada penjaga berhala itu. Apa yang disediakan untuk berhala-berhala tidak dapat diberikan kepada fakir miskin, dan amal sosial sedang sebagian yang disediakan untuk Allah (fakir miskin dan amal sosial) dapat diberikan kepada berhala-berhala itu. kebiasaan yang seperti ini amat dikutuk oleh Allah Swt.
Empat, kejujuran dan ketulusan yang menafikan segala bentuk dusta
Untuk mencapai kejujuran dan ketulusan iman, setiap orang yang mengaku beriman kepada Allah Swt, pasti akan diuji oleh-Nya. Baik ujian kehidupan secara umum berupa kekurangan makanan, minuman, pakaian, rasa takut yang mencekam, sakit yang ringan maupun yang berat, dan lain sebagainya maupun ujian dalam meniti jalan dakwah sebagaimana yang dialami oleh para Nabi Saw dan pengikutnya. Ibarat emas, harus ditempa dan dibakar dengan api demi mencapai kualitas yang dikehendaki. Dalam konteks inilah Allah Swt berfirman: 1. Alif laam miim 2. Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi? [Q. S. Al Ankabut (29): 1-2]
Surga bukanlah sebuah harga yang murah. Merupakan anggapan yang salah jika surga bisa diraih tanpa ujian. Maka dahulu para Nabi dan pengikutnya diuji dalam medan dakwah hingga sampai kepada puncak totalitas dalam tawakal dan mereka sangat berharap akan datangnya pertolongan Allah Swt.
“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, Padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: “Bilakah datangnya pertolongan Allah?” Ingatlah, Sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat. [Q. S. Al Baqarah (2): 214]
Semua diuji berdasarkan level keimanan masing-masing. Ujian yang dihadirkan oleh Allah Swt berfungsi untuk memilah dan memilih. Memilah antara mereka yang beriman dengan mereka yang munafik. Kemudian memilih kaum beriman hingga menjadi kekasih Allah Swt. Ujian kehidupan ini mirip sekali dengan ujian sekolah yang harus dilewati oleh para murid, jika mereka ingin naik ke kelas berikutnya. Maka kelak di surga pun manusia berada pada tingkatan yang berbeda tergantung ujian yang mereka alami selama di dunia. “(Kedudukan) mereka itu bertingkat-tingkat di sisi Allah, dan Allah Maha melihat apa yang mereka kerjakan. [Q. S. Ali Imran (3): 163]. <Bersambung/Dimuat di Majalah Hadila Edisi januari 2015>
Penulis: Ustaz Suhari Abu Fatih, pegiat dakwah dari Klaten