Hadila.co.id — Sore itu saya mengikuti taklim rutin. Ini salah satu usaha saya men-charge rohani. Berkumpul dengan orang-orang saleh, berharap dapat menstabilkan keimanan. Inti materi taklim, mengenai doa Khatmil Qur’an. Ketika lafal Arab dibacakan, saya masih merasa biasa. Tiba pada satu bagian dari doa dan tafsirnya. Seketika tubuh gemetar, air mata mengalir tak tertahan.
Berikut bagian tersebut, “Ya Allah, aku meminta permintaan yang terbaik, permohonan terbaik, keberhasilan terbaik, ilmu terbaik, amal terbaik, pahala terbaik, kehidupan terbaik, kematian terbaik, dan tetapkanlah aku dalam semua kebaikan itu. Beratkanlah timbangan (amal baikku), kukuhkanlah imanku, tinggikanlah derajatku, terimalah salatku, ampunilah kesalahan-kesalahanku; dan aku memohon surga yang paling tinggi kepada-Mu.”
“Doa itu adalah doa saya selama 2 minggu ini,” batin saya. Dimana saya merasa hampa, tidak bersemangat, tidak produktif dalam bekerja, minim ide, dan mengalami berbagai macam kegagalan.
Saya pun menyimak tafsirnya, “Bagian doa tadi merupakan contoh doa yang paling sering manusia inginkan, yaitu segala yang terbaik bagi kehidupannya, baik dunia maupun akhirat. Apakah itu sebuah pinta yang sedikit? Tentu tidak. Permohonan yang terbaik bagi kehidupan dunia dan akhirat merupakan permintaan yang sangat besar, sangat luas. Belum lagi ditambah meminta dihapuskan dosa, yang pastinya banyak. Lalu ditutup dengan meminta surga, yang paling tinggi pula. Sebetulnya apakah salah? Tidak. Doa tersebut dipanjatkan berulang kali pada Allah, sangat boleh, dan Allah suka. Namun, yang jadi pertanyaan adalah saat kita manusia meminta sebanyak itu, lantas apa yang telah kita berikan pada Allah?”
Subhanallah, kepala saya tertunduk hingga ingin tersujud. Apa yang sudah saya lakukan hingga bisa dengan santai meminta segala yang terbaik? Padahal selama ini salat ditunda-tunda. Salat malam tidak dapat karena memilih begadang menyelesaikan project dunia hingga larut. Salat Duha terabaikan karena kesibukan. Membaca Alquran pun belum satu halaman sudah mengantuk, malas. Dan sedekah, sulit sekali rasanya, padahal tahu itu adalah harta titipan Allah.
“Maka jangan heran bila Allah sempitkan hati yang awalnya lapang, sumbatkan inspirasi yang awalnya mengalir deras, resahkan diri yang awalnya tenang, persulit langkah yang awalnya mudah. Sebab kita tidak sadar, semakin banyak pinta, tapi semakin lupa memberi pada Allah. Sesungguhnya Allah tak berkehendak, Dia pemilik segalanya. Pemberian kita hanya bukti keseriusan dan tahu malu atas pinta kita.”
Lanjutan penjelasan, membuat saya bertekad. Terima kasih Allah, hingga saya masih bisa tersadarkan. [Dimuat dalam Pengalaman Ruhani, Hadila Edisi Juli 2014]