Hadila – Dari Abu Hurairah Ra, bahwa Rasululah Saw bersabda:

كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ

“Setiap bayi dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka bapaknyalah yang membuatnya menjadi Yahudi, atau Nasrani, atau Majusi.” [H.R. Bukhari No. 1319, Muslim No. 2658]

Dari hadis di atas kita tahu bahwa setiap individu yang dilahirkan punya potensi fitrah. Fitrah ini adalah kondisi jiwa yang bersih dan bening, serta kondisi di mana mereka menerima Allah sebagai Tuhan yang Esa. Namun kemudian, fitrah itu berangsur berubah dari putih, bersih, dan bening, menjadi keruh, dan bisa jadi kemudian beralih menjadi hitam pekat. Berubah dari ketauhidan menjadi kesyirikan.

Secara tekstual, yang menjadikan fitrah itu berubah, bahkan hilang, adalah orang tua, karena memang kedua orang tua adalah kunci terjaganya fitrah tersebut. Orang tua memiliki peran sakral dan dominan dalam membentuk dan menentukan orientasi kehidupan anak-anak di kemudian hari. Akan tetapi, cakupan makna tersebut, secara konteks tidak hanya terbatas pada orang tua saja. Lingkungan juga memiliki potensi sangat kuat dalam membentuk dan mewarnai tumbuh kembang anak.

Apalagi zaman sekarang, lingkungan tidak lagi hanya terbatas pada radius dan area tertentu yang dekat dengan rumah. Era digital memungkinkan anak untuk mengakses area yang lebih global dan luas. Tidak ada batasan wilayah administratif atau geografi, pun dengan konten-konten belantara pada dunia internet.

Dunia parenting adalah unik, karena objeknya anak, tetapi pemeran utamanya orang tua. Sebagian orang, sementara ini mengira bahwa baik-buruk anak ya tergantung pada anak. Namun, bila kita mengacu pada hadis di atas, baik-buruk anak dipengaruhi kuat pada faktor orang tua dan lingkungan. Dari istilah parenting, kata tersebut merujuk pada parent yang artinya orang tua. Maka sebagai orang tua, penting bagi kita mengetahui apa saja yang menjadi penghambat dalam parenting. Dr. Abdullah Nashih Ulwan mewanti-wanti faktor-faktor tersebut agar orang tua berusaha sebisa mungkin menghindarinya.

Pertama, kekurangan finansial yang menyelimuti rumah tangga. Realitas kehidupan kita meniscayakan pada kebutuhan materi, materi itu penting sekalipun kehidupan kita tidak bergantung hanya pada hal-hal materialistis. Seorang anak bila tidak mendapatkan kebutuhan yang mencukupi dalam rumahnya biasanya dia akan menggantungkan kebutuhan tersebut di luar rumah. Dari sinilah pintu potensi keburukan itu masuk. Fenomena anak-anak remaja keluar rumah, kemudian ditampung oleh orang-orang dewasa yang memanfaatkan mereka, dengan iming-iming materi, itu semua real di lingkungan kita.

Kedua, konflik berkepanjangan antara ayah dan ibu. Kehidupan rumah tangga yang sakinah mawadah wa rahmah adalah impian semua pengantin. Namun, tidak dipungkiri ada letupan-letupan kecil di bilik rumah. Hal itu akan menjadi wajar jika kedua orang tua dewasa dalam menyikapinya. Jangan sampai letupan itu menjadi bara dalam sekam dan na’udzubillah bila berakhir dengan perceraian.

Ketiga, kekosongan dan waktu tidak produktif bagi anak. Tentu hal itu perlu dipahami secara baik dengan cara pandang anak-anak. Anak istirahat itu bukan berarti waktunya kosong, karena memang mereka butuh istirahat. Anak bermain itu bukan artinya waktu mereka produktif, karena memang usia mereka adalah usia bermain. Namun, jika anak berlarut dalam aktivitas yang sia-sia, seperti menonton televisi dengan genre yang tidak sesuai usia mereka, atau bermain game tanpa henti dan cenderung mengalihkan dan mengalahkan aktivitas positif lainnya, maka di situlah orang tua harus bertindak untuk memberi alternatif agar waktu mereka lebih produktif, yaitu dengan permainan-permainan yang positif dan edukatif. <Dimuat di Majalah Hadila Agustus>

PARENTING NABAWIYAH oleh Ustaz Amin Rois, Lc. (Dewan Syariah Solopeduli)