وَلَقَدْ اٰتَيْنَا لُقْمٰنَ الْحِكْمَةَ اَنِ اشْكُرْ لِلّٰهِۗ وَمَنْ يَّشْكُرْ فَاِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهٖۚ وَمَنْ
كَفَرَ فَاِنَّ اللّٰهَ غَنِيٌّ حَمِيْدٌ
“Sungguh, Kami benar-benar telah memberikan hikmah kepada Luqman, yaitu, “Bersyukurlah kepada Allah! Siapa yang bersyukur, sesungguhnya dia bersyukur untuk dirinya sendiri. Siapa yang kufur (tidak bersyukur), sesungguhnya Allah Mahakaya lagi Maha Terpuji.” (Q.S. Luqman: 12)
Hadila – Sebagaimana nama surah tersebut, Allah menyebutkan hamba saleh bernama Luqman, diikuti informasi sekaligus pujian bahwa ia adalah hamba yang diberi hikmah. Penting untuk jeda sesaat merenung, sebelum melalui ayat-ayat nasihat Luqman kepada anaknya, Allah awali dengan hikmah sebagai landasan penting yang harus dimiliki orang tua.
Apa itu hikmah? Hikmah adalah pengetahuan (makrifat) tentang sesuatu secara detail dan mendalam, pengetahuan yang oleh penuturnya ia yakini dan ia jalani. Bahkan dalam Surah Al-Baqarah ayat 269 Allah berfirman, “…Barang siapa yang diberi hikmah Allah maka sesungguhnya ia mendapatkan kebaikan yang sangat banyak…”
Hal penting lainnya adalah, saat kita memilih murabbi atau pendidik bagi anak-anak kita, maka kita harus mengetahui terlebih dahulu apakah murabbi ini sosok yang mempunyai hikmah atau sekadar etalase informasi dan data.
Ya bunayya… Begitulah Sang Ayah menyapa. Begitulah saat hikmah seorang ayah memanggil anaknya, disampaikan dengan lembut. Ia berahap agar yang datang dari hati akan sampai pada hati. Kita sebagai ayah maupun pendidik di sekolah, perlu menghadirkan rasa nyaman dan tenang kepada anak.
Ada ungkapan “at-ta’liif qabla at-ta’riif”, pendekatan dulu baru pendefinisian, dekatkan hati dulu baru ajarkan ilmu dan informasi baru. Ketika kelembutan sapaan itu membuka hati mereka, maka mata dan telinganya akan terbuka, tangan dan kakinya akan tergerak menunaikan titah orang tuanya, insyaallah. Bukan lantas ta’liif harus menggunakan sapaan saja, belaian pada ubun-ubun anak, pelukan pada anak dan gestur kasih sayang lainnya juga mempunyai nilai yang dalam di mata anak-anak kita.
Selanjutnya Luqman mengajarkan kita agar mendidik anak dengan multidimensi dalam agama. Larangan menyekutukan Allah adalah ajaran akidah, perintah mendirikan salat adalah ajaran tentang syariat, larangan berjalan dengan congkak adalah ajaran tentang akhlak. Maka akidah, syariat, dan akhlak adalah 3 dimensi elemental dalam agama kita. Di kemudian hari, di era modern sekarang ini, kita pun mengenal ‘kecerdasan multidimensi’.
Mempelajari tentang Sang Pencipta adalah proses pendidikan anak tentang berpikir. Ada kombinasi dogma dan logika dalam tema-tema ketuhanan dan kealaman-an. Syariat adalah tentang bagaimana pribadi muslim menghubungkan dirinya dengan pencipta sekaligus bagaimana dia menjalani hari-harinya di dunia. Sedangkan akhlak adalah ilmu tentang bagaimana kita berinteraksi dengan sesama manusia.
Hierarki dan kebertahapan dalam mendidik juga secara tersirat diajarkan murabbi kita, Luqman Al-Hakim. Ia tanamkan akidah tauhid terlebih dahulu, menyusul kemudian aturan-aturan ibadah maupun syariat, lalu disempurnakan dengan ajaran akhlak. Mendidik anak dengan fikih prioritas adalah mengajari mereka tentang realitas kehidupan yang sarat dengan pilihan-pilihan. Memilih antara hak atau batil, antara sunah atau makruh, bermain atau belajar. Dalam praktiknya mereka akan belajar memilih teman, memilih sekolah beserta jurusannya, dan lain sebagainya.
Luqman Al-Hakim juga mendidik dengan metode perumpamaan (mitsaal). Beliau mencontohkan jika ada amalan sekecil biji sawi pada batu, langit, maupun bumi, maka Allah tetap akan memberikannya balasan. Mendidik dengan menghadirkan abstraksi merupakan kecerdasan tersendiri pada orang tua maupun guru. Dalam permisalan tersebut muncul banyak pelajaran, tentang komparasi dan volume benda, mengenal bumi dan langit, dan sebagainya. Metode ini menjadi cikal bakal seorang anak untuk terbiasa berpikir dan berinteraksi dengan hal-hal mikro dan makro.
Selanjutnya Luqman mengajari orang tua dan para pendidik agar, ketika memberi instruksi kepada anak, turut menyertakan penalaran kausalistik dari instruksi tersebut, atau dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah ta’lil. Contoh, saat Luqman melarang anaknya berbuat syirik, maka ia tambahkan dengan keterangan syirik adalah kezaliman besar.
Larangan durhaka kepada orang tua, terlebih ibu, maka ditambahkan keterangan bahwa ibu telah mengandung susah payah. Perintah merendahkan suara, maka ditambahlah keterangan bahwa suara keledai (yang keras dan tinggi) adalah suara terburuk. Di sini kita belajar bahwa mendidik anak tidak selalu harus dengan dogma, ada latihan-latihan penalaran yang disesuaikan dengan kecerdasan masing-masing anak. <Dimuat di Majalah Hadila Edisi Juli 2024>
Leave a Comment
Your email address will not be published. Required fields are marked with *