نِعْمَ الْمَالُ الصَّالِحِ لِلْمَرْءِ الصَّالِحِ
“Sebaik-baik baik harta yang baik ialah harta milik orang yang saleh.”
Lafal matan hadis ini berdasarkan riwayat Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrid, Bab Al-Maal As-Shaalih Lil Mar’is Shaalih: 299. Lafal yang berbeda, diriwayatkan oleh Ahmad dalam Musnad-nya. Lihat Musnad As-Syaamiyyiin, Hadiits Amr ibn Al-‘Ash: 17763. Al-Albani menilai hadis ini sahih. Lihat Shahiih Al-Adab Al-Mufrid: 126.
At-Thayyibi saat mengomentari hadis ini, dalam Al-Kasyif ‘An Haqaa’iq As-Sunan, menjelaskan bahwa sesuatu dikatakan saleh (baik) kalau memberikan manfaat. Kebalikannya ialah fasaad (rusak). Menurut beliau harta yang saleh (baik) ialah harta yang diperoleh dengan cara halal dan dan dipergunakan untuk kebaikan. Sementara itu, orang yang saleh ialah orang yang mengetahui kebaikan dan menjalankannya.
Matan hadis ini membicarakan tentang pengelolaan harta oleh orang saleh. Pembicaraan tentang harta menjadi penting karena ia merupakan qiyaamul hayaat, pokok kehidupan. [Q. S. An-Nisaa’ (4): 5]
Allah Swt menciptakan sarana dan fasilitas hidup di alam dan jagat raya untuk umat manusia. Kepada mereka Allah Swt menyerahkan tanggung jawab pengelolaannya. Ini sejalan dengan tugas manusia sebagai khalifah pemakmur bumi.
Selanjutnya, Allah Swt akan menilai bagaimana mereka menunaikan tugasnya. “Sesungguhnya bumi ini hijau dan manis rasanya,” sabda Rasulullah Saw suatu ketika. “Sesungguhnya Allah menjadikan kalian sebagai khalifah di sana untuk mengetahui bagaimana kalian bekerja,” lanjut beliau sebagaimana dituturkan ulang oleh Muslim.
Dalam konteks ini, sarana dan fasilitas hidup, apapun bentuknya, selain berfungsi mempermudah urusan hidup, ia juga menjadi peranti evaluasi bagi para manusia untuk menentukan siapakah di antara mereka yang paling berkualitas dalam mengelolanya. Allah Swt berfirman, “Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang di bumi sebagai perhiasan baginya, agar Kami menguji mereka siapakah di antara mereka yang terbaik perbuatannya.” [Q. S. Al-Kahfi (18): 7]
Masalah pengelolaan, bukan sekadar masalah pengetahuan dan kecakapan, tapi juga masalah mental dan moral pengelolanya. Bahkan jika melihat akibat yang ditimbulkan, mental dan moral lebih berpengaruh dibandingkan dengan pengetahuan dan kecakapan. Kecanggihan ilmu pengetahuan dan kecakapan dalam memanfaatkan teknologi bukan jaminan untuk keberhasilan pengelolaan. Bukankah kecanggihan itu semestinya bisa digunakan untuk membangun peradaban manusia? Tapi, faktanya tak sedikit yang menggunakannya untuk merusak dan membuat kehancuran. Mereka itulah orang-orang yang rusak mental dan moralnya. Tangan-tangan mereka inilah yang menimbulkan kerusakan dan kehancuran di daratan dan di lautan sebagaimana firman Allah Swt, “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” [Q. S. Ar-Ruum (30): 41]
Gambaran kesalahan pengelolaan sarana dan fasilitas, dalam kasus yang lebih sederhana, bisa dilihat misalnya pada pengelolaan pena. Seharusnya, ia bisa digunakan untuk menuliskan ilmu dalam berlembar-lembar buku. Tapi, tak jarang orang yang bermental dan bermoral buruk menyalahgunakannya untuk tindak pidana kejahatan seperti pemalsuan dan penipuan.
Secara khusus, hadis ini membicarakan tentang pengelolaan harta. Harta yang baik, akan semakin baik jika dikelola oleh orang baik-baik. Pesan agung ini dengan gamblang mengisyaratkan pentingnya melibatkan kesalehan untuk pengelolaan sarana dan fasilitas hidup yang lebih baik. Di tangan orang saleh, sarana dan fasilitas hidup akan lebih berdaya guna untuk kebaikan dan kemakmuran.
Ini bukan suatu kebetulan, karena orang yang saleh mengelola dengan mental dan moral yang saleh pula. Mental yang saleh tercermin dalam iktikad yang baik, sedangkan moral yang saleh terwujud dalam perilaku yang baik. Dengan iktikad dan perilaku yang baik, bisa dipastikan buahnya ialah kebaikan. Di sinilah kita tahu mengapa Nabiyullah Yusuf as layak menjadi bendahara yang mengelola kekayaan negeri Mesir.
Seharusnya orang-orang salehlah yang tampil ke depan untuk mengelola sarana dan fasilitas hidup. Sudah saatnya kesalehan menjadi salah satu parameter yang harus ada dan dimasukkan dalam kategori keahlian. Lebih-lebih dalam urusan pengelolaan sarana dan fasilitas hidup. Kalau tidak, kehancuran pasti akan terjadi. “Jika suatu urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, tunggulah masa kehancurannya,” tegas Rasulullah Saw sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari. Wallaahu a’lam bis shawwab.
[Penulis: Tamim Aziz, Lc., M.P.I., pengajar di Ma’had Abu Bakar dan FAI Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS). Dimuat di Majalah Hadila Edisi April 2015]