Tim Psikologi UGM Beri Rekomendasi Mitigasi Pandemi Covid-19

Tim Psikologi UGM Beri Rekomendasi Mitigasi Pandemi Covid-19

Hadila.co.id — Pandemi Covid-19 berdampak pada seluruh tatanan kehidupan. World Health Organization (WHO) memprekdisikan bahwa setiap bencana akan menyisakan dampak jangka menengah dan panjang yang perlu diantisipasi.

Maka, dalam rangka peringatan ulang tahun ke-57 Fakultas Psikologi, Universitas Gadjah Mada (UGM), sebuah policy brief bertajuk “Mitigasi Dampak Jangka Menengah dan Panjang Pandemi Covid-19 (Sebuah Persembahan untuk Negeri)” diterbitkan untuk mendukung upaya mitigasi dampak menengah dan panjang dari pandemi Covid-19 yang masih berlangsung.

Rekomendasi disusun menggunakan  pendekatan rentang perkembangan manusia yang berinteraksi  dengan tiga sektor penting dalam sistem sosial, yaitu keluarga, sekolah, dan tempat kerja.

Tim penyusun terdiri dari tiga narasumber, yakni Diana Setiyawati, Ph.D., Psikolog; Indrayanti, Ph.D., Psikolog; dan Elga Andriana, M.Ed., Ph.D. Tim tersebut dibantu oleh empat asisten, yaitu Hanifah Nurul Fatimah, M.Sc.; Haiyun Nisa, M.Psi., Psikolog; Harlina Nurtjahyanti, M.Psi., Psikolog; serta Annisa Reginasari, M.A.

Sebagaimana yang kita ketahui, Indonesia tengah menghadapi pandemi Covid-19 selama dua tahun terakhir yang membawa dampak pada berbagai sektor kehidupan, mulai dari keluarga, sekolah, tempat kerja, hingga masyarakat.

BACA JUGA: Guru dan Kendala Pembelajaran Daring | Oleh: Hatif Sulistyawan

Berbagai upaya dan terobosan telah dilakukan oleh Pemerintah untuk meminimalisir dampak negatif dari pandemi ini, seperti membuat kebijakan  terkait  kenormalan  baru (new normal) melalui berbagai regulasi dan aturan.

Kenyataannya, kenormalan baru ini telah memberikan dampak positif dan negatif dalam berbagai sektor. Dampak  positifnya  dapat meredakan arus kasus Covid-19 yang melanda  masyarakat,  karena  kebijakan  protokol kesehatan yang ketat, pembatasan sosial dan wilayah, serta keberadaan satgas Covid terbukti efektif mengatasi dampak dari penyebaran Covid-19 ini.

Namun demikian, di sela harapan penanganan kesehatan yang optimal, beberapa permasalahan muncul di masyarakat yang kemudian kita sebut sebagai dampak negatif.

Beberapa studi menunjukkan dampak negatif ini melahirkan perilaku individu yang tidak sehat, seperti kecemasan, kemarahan, kesedihan, efikasi diri lemah, mudah tersulut emosi, kecanduan gadget semakin marak, dan lain-lain.

Perilaku ini tidak hanya terjadi di lingkungan kecil keluarga dan interaksi personal, tetapi juga mencakup  komunitas  yang lebih besar seperti tempat kerja, sekolah, dan masyarakat umum.

BACA JUGA: Webinar Parenting Munas V JSIT Indonesia: Efek Sosial Pandemi, Kekerasan Terhadap Anak Meningkat

Belajar dari sejarah pandemi, misalnya Spanish flu, bayi-bayi yang dikandung dan dilahirkan pada masa pandemi ditemukan mengalami risiko kesehatan dan disabilitas yang lebih tinggi  karena  melalui  tahap perkembangan  krusialnya ketika sistem kesehatan sedang  difokuskan  pada penanggulangan  pandemi,  yang berimbas pada kurangnya perhatian terhadap aspek kesehatan  dan sektor  kehidupan  lainnya.

Rekomendasi Kebijakan

Dalam situasi ini, kajian psikologi menjadi penting untuk dilakukan secara mendalam dan cermat dalam rangka memberikan masukan analisis situasi dan mitigasi dampak jangka menengah dan jangka panjang pandemi Covid-19. Sebagai langkah antisipasi,  policy  brief ini merumuskan rekomendasi kebijakan sebagai berikut:

Jangka Menengah

Selain fokus pada pemulihan ekonomi dan sistem kesehatan, dalam jangka menengah Pemerintah juga perlu menerapkan kebijakan untuk mengejar berbagai ketertinggalan pada sektor psikososial dan kesehatan jiwa (well-being) yang belum sepenuhnya terpetakan selama pandemi.

Berikut adalah rumusan rekomendasi dari tim yang disusun menggunakan pendekatan rentang perkembangan dan kehidupan.

Untuk Keluarga: Bagi orang tua, diperlukan kemampuan untuk memenuhi kebutuhan pengasuhan lima tahun pertama maksimal bagi anak yang lahir di masa pandemi. Orang tua juga diharapkan memiliki keterampilan mendampingi anak dalam akses layar digital sehingga proses penggunaannya menjadi tepat sasaran.

BACA JUGA: Kemendikbud Ristek RI Ajak JSIT Indonesia Kolaborasi Majukan Pendidikan

Untuk Pendidikan: Menyusunan ragam kurikulum yang sesuai untuk metode PJJ, tatap muka maupun bauran antara keduanya. Hal ini tentunya perlu diimbangi dengan peningkatan kapasitas guru, sehingga mampu merancang pembelajaran dengan tepat.

Untuk Tempat Kerja: Menyusun rancangan pedoman bekerja di era kenormalan baru, yang memuat salah satunya adalah peningkatan kapasitas kesiapan psikologis para pekerja dan implementasi kebijakan ramah keluarga untuk mewujudkan lingkungan kerja yang sehat dan tercapainya kesejahteraan psikologis para pekerja.

Untuk Masyarakat Umum: Mengidentifikasi potensi antargenerasi yang dapat meningkatkan kesehatan fisik dan jiwa seluruh komponen yang terlibat, baik anak, remaja, dewasa atau lansia agar menjadi lebih berdaya dalam menghadapi pandemi.

Jangka Panjang

Setelah pandemi dapat tertangani dengan baik, Pemerintah perlu memastikan bahwa sistem kesehatan dapat secara optimal melayani berbagai jenis keluhan dan penyakit, baik fisik maupun psikis, yang dapat diakses oleh berbagai kelompok usia.

Hal ini kemudian juga dapat mendukung penguatan sistem kesehatan jiwa yang dapat meningkatkan ketahanan masyarakat Indonesia pada umumnya, serta mampu melakukan upaya preventif terhadap munculnya permasalahan kesehatan jiwa serta dampaknya bagi perkembangan dan kesejahteraan psikologis masyarakat luas.

1. Penguatan sistem pelayanan kesehatan jiwa di Puskesmas

Penguatan sistem pelayanan kesehatan jiwa di Puskesmas dapat dilakukan dengan penempatan profesi khusus yang bertanggung jawab terhadap kesehatan jiwa, misalnya psikolog klinis, atau profesi kesehatan jiwa lainnya.

BACA JUGA: Begini Tips Mencegah Dampak Negatif Penggunaan Gadget pada Anak

Puskesmas adalah bagian pelayanan paling strategis dalam sistem kesehatan Indonesia, mengingat jumlahnya yang relatif proporsional dan merata di seluruh Indonesia serta perannya sebagai fasilitas kesehatan tingkat 1. Dengan begitu, puskesmas juga perlu memberikan pelayanan kesehatan jiwa, seperti promosi, prevensi, kurasi, dan rehabilitasi.

2. Penguatan keluarga agar memiliki skill dan resiliensi.

Penguatan keluarga untuk mendukung setiap anggotanya memiliki skill dan resiliensi dalam menghadapi stres dan berbagai krisis kehidupan, sehingga dapat meminimalisir dampak pandemi.

3. Penguatan sistem kesehatan jiwa berbasis sekolah

Masalah-masalah dampak jangka panjang pandemi sangat mungkin akan muncul di sekolah, berupa masalah belajar, tidak ada ketertarikan dengan akademik, bullying, penyesuaian diri dan sosial, dan lain-lain.

Oleh karena itu, perlu disiapkan sistem di sekolah untuk mengantisipasi masalah-masalah tersebut secara sistemik. Contohnya, intervensi berjenjang untuk semua anak, kelompok dan individu, dapat menjadi langkah strategis bagi keluarga untuk mendukung setiap anggotanya memiliki skill dan resiliensi dalam menghadapi stres dan berbagai krisis kehidupan.

4. Penguatan sistem kesehatan jiwa keluarga berbasis sekolah

Sekolah merupakan lembaga formal yang dapat berfungsi dalam mewujudkan keluarga yang tangguh. Hal yang dapat dilakukan antara lain menyusun langkah strategis yang bersifat sistemik dalam peningkatan kapasitas orangtua agar mampu berkontribusi dalam penguatan kesehatan jiwa diri dan anak-anak.

5. Penyusunan kebijakan dan strategi yang mendukung kebutuhan berbeda dari para pekerja

Pemerintah dapat merancang kebijakan dan strategi fleksibilitas di tempat kerja terkait dengan waktu, durasi, dan lokasi dalam rangka mendukung kebutuhan yang berbeda sesuai dengan kebutuhan masing-masing pekerja.

BACA JUGA: Kabar Kesehatan jiwa dari Indonesia di Tengah Dunia yang Tidak Setara

Misalnya, kebijakan maternal leave diubah menjadi parental leave bagi wanita dan pria bekerja yang memiliki bayi/anak balita. Selain itu, bagi pekerja dengan kebutuhan darurat di rumah juga dapat mengerjakan tugas dari rumah.

Langkah proaktif dari pemerintah ini diharapkan dapat membantu pekerja, baik wanita maupun laki-laki yang istrinya sedang melahirkan untuk dapat menyeimbangkan tanggung jawab pekerjaan dan keluarga, yang pada akhirnya akan meningkatkan produktivitas kerja.

Pemerintah juga perlu melakukan monitoring terhadap implementasi kebijakan ramah keluarga yang diterapkan oleh instansi kerja. Kebijakan ramah keluarga terbukti tidak memberikan kontribusi besar dalam mewujudkan kesejahteraan psikologis karyawan akibat kurangnya pengawasan dalam penyediaan dan penggunaan sarana prasarana.

Maka, ke depannya kebijakan ini perlu didampingi dengan program-program inovatif yang bersifat bottom up untuk mengakomodasi aspirasi pekerja serta penyediaan fasilitas, seperti day care, ruang laktasi, dan playground.

BACA JUGA: Suami Tugas Luar Kota, Haruskah Istri Resign?

6. Adanya program mentoring psikologis

Mentoring Kesehatan Psikologis (bagian dari family learning) untuk orang tua yang bekerja, khususnya untuk mengelola tantangan praktis seperti merencanakan cuti, menemukan metode pengasuhan anak yang sesuai, mendapatkan jenis fleksibilitas yang tepat.

Hal ini krusial untuk memfasilitasi orang tua yang bekerja untuk mengatasi masalah besar seperti menghadapi situasi yang sulit secara psikis, menjalin quality time dengan keluarga di tengah kesibukan, dan menyeimbangkan pengasuhan dengan tuntutan profesional berkarier. <Istimewa/Press Release Fakultas Psikologi UGM>

Ibnu
EDITOR
PROFILE

Berita Lainnya

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked with *

Latest Posts

Top Authors

Most Commented

Featured Videos