Oleh: Mutoharun Jinan (Pakar Parenting asal Surabaya)
Dalam interaksi sehari-hari, sering kita jumpai adanya anak-anak yang tak mau berbagi. Terkadang kita bisa memaklumi, tetapi tidak jarang pula kita gemas melihat sikap anak tersebut. Terlebih bila yang menjadi korban adalah anak kita sendiri.
Anak yang tak mau berbagi adalah bagian dari lingkungan keluarga. Hampir seluruh perilaku yang muncul pada anak usia sekitar 4-6 tahun adalah pengaruh dari lingkungan keluarga, karena bagaimana pun juga keluarga memiliki kontribusi peran yang tidak kecil dalam meng-create perilaku anak. Namun, hal ini tidak berarti sikap anak yang tak mau berbagi selalu menggambarkan sikap kedua orang tuanya. Artinya bila anak pelit, maka belum pasti orang tuanya juga pelit, meskipun tidak menutup kemungkinan hal itu sesungguhnya terjadi.
Kali ini kita akan mencoba meneropong lebih jauh sikap anak yang tidak mau berbagi dengan temannya. Anak tersebut biasanya merasa bahwa barang kepunyaannya adalah miliknya saja, dan tidak perlu ada orang lain yang turut ambil bagian, sehingga ia berharap bisa bebas ‘menikmatinya’. Andai ia harus berbagi, maka anak itu merasa ada sesuatu yang hilang dari benaknya dan itu sangat menyiksa batinnya. Sikap ini terasa kental saat anak memasuki usia 3 tahun. Orang mengenalnya dengan masa trotz atau usia membangkang.
Dalam logika psikologi, seiring berkembangnya usia fisik, maka berkembang pula sikap mentalnya. Namun ritme perkembangan mental pada anak sangat dipengaruhi oleh sikap lingkungan terutama keluarga. Sikap egosentris akan terasa tetap menempel meskipun usianya sudah cukup besar, lantaran orang tuanya tidak memberikan respons positif terhadap perilaku yang muncul. Anak menganggap bahwa perilakunya sah-sah saja tanpa harus direvisi. Terlebih bila sikap orang tuanya memang kaku dan cenderung egois, maka tidak heran bila ‘buah jatuh tak jauh dari pohonnya’. Dalam darah anak telah mengalir sifat pelit dari orang tuanya.
Dalam kacamata berbeda, sikap anak untuk tidak mau berbagi bisa juga dipicu oleh intensitas kekecewaan yang membalut perilakunya. Ia menganggap bahwa tidak ada feed back positif terhadap perilaku berbaginya.
Pada fase perkembangan, anak lebih banyak ‘dininabobokan’ oleh motivasi eksternal. Orientasi fisik kebendaan (materialistis) masih dirasa cukup kental pada usia anak-anak. Barang yang tidak dibagikan atau mainan yang tidak dipinjamkan pada orang lain akan bertahan pada porsi awal, sehingga ada jaminan seratus persen bahwa hanya dia yang menikmatinya. Berbeda, bila makanan harus dibagi dengan orang lain, maka terasa ada yang berkurang jumlahnya. Demikian pula dengan mainan yang harus dipinjamkan pada teman, maka tidak menutup kemungkinan, akan cepat rusak, minimal cepat kotor.
Dari uraian di atas, pemicu munculnya perilaku anak tidak mau berbagi dengan orang lain adalah sebagai berikut:
Pertama, anak mengalami perpanjangan masa trotz. Hal ini berimplikasi pada perilakunya yang masih terbalut oleh sikap egosentris, sehingga pengaruh egonya cukup dominan. Kedua, mencari perhatian dengan bersikap antagonis agar terkesan berbeda dari yang lain. Ketiga, sikap orang tua yang cenderung ‘membiarkan’ anaknya untuk tidak mau berbagi dengan orang lain, karena menganggap hal itu wajar terjadi pada usia anak-anak sehingga tidak perlu direspons secara berlebihan. Keempat, lingkungan rumah yang bernuansa individualistis dan seolah tidak butuh tetangga. Kondisi ini biasanya menimpa keluarga yang hidup di lingkungan perumahan elit atau bahkan perumahan dengan strata ekonomi menengah ke atas. Hampir boleh dibilang antara satu tetangga dengan tetangga yang lain tidak saling tegur sapa karena ‘kesibukan’ masing-masing. Tidak sedikit imbasnya pada anak-anak yang tidak bisa leluasa keluar rumah untuk ‘bertetangga’ (bermain dengan teman seusia yang menjadi tetangganya).
Kelima, sikap egois orang tua kepada orang lain akan melahirkan anak dengan tipe yang sama. Tingkah laku anak dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor genetis dan faktor lingkungan terutama keluarga. Keenam, anak tidak merasakan manfaat apa pun saat ia berusaha berbagi dengan temannya. Termasuk di dalamnya adalah sikap lingkungan yang tidak memberikan apresiasi terhadap perilaku positifnya itu. Ketujuh, orang tua tidak jeli melihat dampak positif dari perkembangan emosi anak, bila anak terbiasa berbagi dengan orang lain. Terlebih bila dikaitkan dengan konteks sedekah.
Tips Agar Anak Terbiasa Berbagi
Pertama, berilah support (dukungan) pada anak saat ia terlihat ingin berbagi dengan temannya. Kedua, berilah contoh nyata, ketika Anda memberi uang sedekah pada pengemis dan bahkan ajarkan pada anak agar tangannya sendiri yang memberikan uang itu, sehingga kesannya cukup dalam.
Ketiga, tanamkan sejak kecil agar anak terbiasa bersedekah dan tunjukkan manfaatnya bila kita rajin bersedekah. Keempat, jadikan habituasi (kebiasaan) dalam keluarga untuk rajin dan istikamah dalam menjalankan program sedekah. Misalnya, dengan memberikan uang jajan ‘lebih’ untuk ditabung, baik ditabung dalam pengertian menyisihkan uang untuk antisipasi memenuhi kebutuhan ananda di lain waktu maupun ditabung dalam pengertian disedekahkan, yang manfaatnya bisa kita rasakan di dua alam, baik di dunia maupun di akhirat. Di dunia ada jaminan dari Allah bahwa uang yang kita sedekahkan akan dilipatgandakan hingga 70 kali (hadis) dan investasi pahala untuk merangsang turunnya rahmat Allah kelak di akhirat. <Dimuat di Majalah Hadila edisi Mei 2019>