Hadila – Ibn ‘Abbas Ra, adalah orang yang sangat beruntung dididik langsung oleh Rasulullah Saw. Beliau mendapatkan anugerah doa dari Rasul sebagai penakwil Al-Qur’an dan dikaruniai pemahaman dalam agama. Dalam suatu kesempatan, Nabi memberikan wejangan kepadanya, ‘Jagalah Allah, pasti Allah menjagamu, jagalah Allah, pasti kamu mendapati-Nya selalu berada di hadapanmu, bila kamu meminta, maka mintalah kepada Allah dan bila kamu minta tolong, maka minta tolonglah kepada Allah. Ketahuilah, bahwa jikalau seluruh umat berkumpul untuk memberikan manfaat kepadamu, maka mereka tidak akan dapat memberikannya kecuali sesuatu yang telah ditakdirkan Allah atasmu, dan jikalau mereka berkumpul untuk merugikanmu (membahayakanmu) dengan sesuatu, maka mereka tidak akan bisa melakukannya, kecuali sesuatu yang telah ditakdirkan Allah atasmu. Pena-pena (pencatat) telah diangkat dan lembaran-lembaran telah kering.” (H.R. At-Turmudzy, dia berkata, ‘Hadis hasan shahih.’ Hadis ini juga diriwayatkan Imam Ahmad)
Menjaga Allah yaitu dengan cara menjaga hudud-Nya (batasan-batasan-Nya dalam hukum dan lain-lain), hak-hak, perintah-perintah, dan larangan-larangan-Nya. Allah Ta’ala berfirman, “Inilah yang dijanjikan kepadamu, (yaitu) kepada setiap hamba yang selalu kembali (kepada Allah) lagi memelihara (semua peraturan-peraturan-Nya). (Yaitu) orang yang takut kepada Tuhan Yang Maha Pemurah sedang Dia tidak kelihatan (olehnya) dan dia datang dengan hati yang bertobat.” (Q.S. Qaaf: 32-33)
Perintah Allah yang harus dijaga secara khusus adalah salat sebagaimana firman-Nya, “Jagalah segala salat(mu), dan (jagalah) salat Wustha.” (Q.S. Al-Baqarah: 238). Ada juga perintah untuk menjaga sumpah sebagaimana firman-Nya, “Dan jagalah sumpahmu.” (Q.S. Al-Ma`idah: 89)
Sesungguhnya orang yang memelihara ketetapan Allah, menunaikan hak-hak-Nya maka Allah akan memeliharanya. Sebagaimana firman Allah, “Dan sempurnakanlah perjanjian denganKu, supaya Aku sempurnakan perjanjian-Ku dengan kamu.” (Surah Al-Baqarah: 40)
Bagaimanakah Allah Menjaga Hamba-Nya?
Allah menjaga kebaikan hamba-Nya di dunia, lewat utusan malaikat yang menjaga jiwa raganya, anak-anaknya, keluarganya, dan harta bendanya, sebagaimana firman-Nya, “Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah.” (Q.S. Ar-Ra’d: 11)
Ibn ‘Abbas Ra, berpendapat, “Mereka itu adalah para malaikat yang menjaganya atas perintah Allah. Dan bila takdir telah tiba, mereka pun meninggalkannya.” (Dikeluarkan oleh ‘Abduurrazzaq, al-Firyaaby, Ibn Jarir, Ibn al-Mundzir, dan Ibn Abi Haatim sebagai yang disebutkan di dalam kitab Ad-Durr al-Mantsuur, Jilid IV, h.614). Allah juga menjaganya di masa kecil, muda, kuat, lemah, sehat, dan sakitnya. Ali bin Abi Thalib berkata, “Sesungguhnya bersama setiap lelaki terdapat dua malaikat, menjaganya selagi belum tiba ajalnya. Apabila ajal tiba, kedua malaikat itu meninggalkannya.”
Penjagaan Allah terhadap hamba-Nya dimanifestasikan dalam anugerah ketenangan dan kemantapan di dalam jiwa dengan penyertaan khusus dari Allah, sebagaimana yang dianugerahkan kepada Nabi Musa dan Harun, “Janganlah kamu berdua khawatir, sesungguhnya Aku beserta kamu berdua; Aku mendengar dan melihat.” (Q.S. Thaaha: 46)
Penjagaan itu juga dianugerahkan kepada Nabi dan Abu Bakar Ash-Shiddiq saat keduanya berhijrah dan berada di gua, Rasulullah shalallahu alaihi wasalam, bersabda, “Apa katamu terhadap dua orang di mana yang ketiganya adalah Allah? Janganlah kamu bersedih, sesungguhnya Allah beserta kita.” (H.R. Bukhari, Muslim, dan at-Turmudzy)
Allah juga menjaga hamba karena kesalehannya selepas kematiannya terhadap keturunannya, seperti firman Allah, “Adapun tembok itu pula, adalah ia dipunyai oleh dua orang anak yatim di bandar itu; dan di bawahnya ada “harta terpendam” kepuyaan mereka; dan bapak mereka adalah orang yang saleh. Maka Tuhanmu menghendaki supaya mereka cukup umur dan dapat mengeluarkan harta mereka yang terpendam itu, sebagai satu rahmat dari Tuhanmu (kepada mereka).”.(Q.S. Al-Kahf: 82)
Kedua harta anak yatim itu dipelihara karena kebaikan dan kesalehan kedua ibu bapak mereka. Said bin Musayyib pernah berwasiat kepada anaknya, “Aku menambah salat (dengan banyak salat sunah) demi kebaikanmu, semoga salatku dapat menjagamu (setelah kematianku).” Kemudian beliau membaca ayat di atas. Umar bin Abdul Aziz berkata, “Tiada dari kalangan mukmin yang mati melainkan Allah menjaga untuknya keturunan demi keturunan secara turun temurun.”
Penjagaan yang paling mulia dari penjagaan Allah adalah menjaga agama dan iman seorang hamba. Allah melindungi hamba-Nya daripada kehidupan yang syubhat, sesat, menuruti hawa nafsu, dan perkara yang haram. Allah memelihara hamba-Nya dengan menjaga agamanya ketika mati dan mematikannya di atas iman.
Allah berfirman mengenai Nabi Yusuf, “Dan sebenarnya perempuan itu telah berkeinginan sangat kepadanya, dan Yusuf pula (mungkin timbul) keinginannya kepada perempuan itu kalaulah ia tidak menyadari kenyataan Tuhannya (tentang kejinya perbuatan zina itu). Demikianlah (takdir Kami) untuk menjauhkan dari Yusuf perkara-perkara yang tidak baik dan perbuatan-perbuatan yang keji, karena sesungguhnya ia dari hamba-hamba Kami yang dibersihkan dari segala dosa.” (Q.S Yusuf: 24)
Ibnu Abbas menjelaskan bahwa Allah memisahkan dari hamba-Nya yang beriman segala perbuatan maksiat yang akan menjerumuskannya ke dalam neraka. Puncaknya adalah penjagaan yang diberikan oleh Allah di dalam kehidupan akhirat. Allah menjaga hamba-Nya di dalam kubur dan setelah alam kubur dari segala huru hara, kengerian dan derita-deritanya dengan menaunginya pada hari kiamat di mana tiada naungan selain naungan-Nya.
Maka setiap mukmin seyogyanya selalu antusias memperbanyak doa memohon pertolongan kepada Allah dalam semua kondisi dan situasi yang dihadapinya, sebagaimana ikrar dalam Al-Fatihah, “Hanya kepada-Mu kami menyembah dan hanya kepada-Mu pula kami memohon pertolongan.” (Q.S. Al-Fatihah: 5)
Sesungguhnya apa-apa yang menimpa seorang hamba di dunia, baik yang mencelakakan dirinya atau yang menguntungkannya; semuanya itu sudah ditakdirkan atasnya. Dan tidaklah menimpa seorang hamba kecuali takdir-takdir yang telah dicatatkan atasnya di dalam kitab catatan amal sekalipun semua makhluk berupaya untuk melakukannya (mencelakan dirinya atau memberikan manfaat kepadanya). Allah Swt berfirman, “Katakanlah, sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan oleh Allah bagi kami.” (Q.S. At-Taubah: 51)
Setiap muslim yang baik menghadapi takdir-takdir Allah yang tidak mengenakkannya dengan sepenuh keridaan dan kesabaran agar bisa meraih pahala yang tak terhingga. Allah Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang bersabar akan diganjari pahala mereka dengan tanpa hisab (perhitungan).” (Q.S. Az-Zumar: 10)
Rasulullah menggambarkan,“Sungguh menakjubkan kondisi seorang mukmin; sesungguhnya semua urusannya baik, jika ia mendapatkan kesenangan, ia bersyukur; maka itu adalah baik baginya. Dan bila ia ditimpa hal yang tidak menguntungkannya (kemudaratan), ia bersabar; maka itu adalah baik (pula) baginya.” (H.R. Muslim)
Seorang Muslim tidak boleh dihantui keputusasaan dan pupus harapan terhadap rahmat Allah ketika mengalami suatu problem atau musibah. Ia harus bersabar dan mengharap pahala dari Allah atas hal itu serta bercita-cita agar mendapatkan kemudahan (jalan keluar), sebab kemenangan itu diraih dengan kesabaran dan bersama kesulitan itu, selalu ada kemudahan yang disediakan Allah.
Semoga kita selalu berada dalam penjagaan-Nya, rahmat, dan pertolongan-Nya, amin. <>
Oleh: Dr. Tajuddin Pogo, Lc. MH (Pengurus IKADI)
Leave a Comment
Your email address will not be published. Required fields are marked with *