Oleh: Siti Faizah (Ketua PP Salimah)
Memiliki anak yang berbakti kepada orang tua adalah harapan setiap insan. Perlahan tapi pasti, waktu akan menghantarkan raga manusia mulai melemah kemudian merenta, daya ingat mulai berkurang, berpikir mulai terbatas. Di saat itu orang tua membutuhkan pendampingan dan bantuan anak. Anak yang berbakti bukan hanya kebutuhan orang tua saat hidup di dunia, melainkan sampai ke akhirat.
Anak adalah aset berharga yang sangat berguna tanpa batas waktu. Kematian hanya memisahkan raga, tetapi bakti anak kepada orang tua tetap dinanti dan berguna dalam menambah kebaikan di alam kubur sampai akhiratnya. Dari Abu Hurairah Ra, bahwa Rasul Saw bersabda, “Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara, yakni sedekah jariah, ilmu yang bermanfaat, dan doa anak yang saleh.” (H.R. Muslim)
Dalalm Alquran terdapat banyak ayat yang tersebar di lima surah, seperti Surah Al Isra’ ayat 23, Annisa’ ayat 36, Al Ankabut ayat 8, Al Ahqaf ayat 15, dan Luqman ayat 14 yang memerintahkan anak supaya berbakti kepada kedua orang tuanya, “Dan Kami perintahkan kepada manusia agar berbuat baik kepada orang tuanya, ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah lemah dan menyapihnya dalam dua tahun, bersyukurlah kalian kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu. Hanya kepada-Ku lah kalian kembali.” (Q.S. Luqman : 14)
Namun keinginan orang tua tidak selamanya sesuai harapan. Realitas sosial memperlihatkan berbagai kasus, seperti anak menghardik dan membantah orang tua. Anak yang dengan tega memperkarakan orang tua ke ranah hukum bahkan ada yang sampai membunuh orang tuanya. Anak menjadi sulit diajak kompromi, anak tidak bisa berbagi waktu sekadar berbincang dengan orang tua dalam rangka menghibur dan menjalin kebersamaan. Terdapat pula orang tua yang tidak bisa mengharapkan bantuan dari anak, anak enggan mengurus orang tua, bahkan ada kasus anak yang melulu menadahkan tangan pada bantuan orang tua dan problematika lainnya di masyarakat.
Alkisah, Umar bin Khatab Ra pernah mendapatkan keluhan seorang ayah yang mengadukan putranya yang dianggap durhaka dan meminta beliau memberikan nasihat kepada sang anak. Tiba saatnya khalifah mendengar sang anak berujar, “Bagaimana aku berbakti kepada ayahku? Demi Allah, ayahku tak sayang kepada ibuku yang diperlakukan tidak ubahnya seorang hamba sahaya. Sekali-kalinya dia mengeluarkan uang untuk ibuku, sebanyak 400 dirham untuk menebus ibuku. Dia juga tak menamaiku dengan nama yang baik. Aku diberi nama, “Juala (Jadian)”. Dia juga tidak mengajariku membaca Alquran, meski satu ayat pun.” Mendengar penjelasan sang anak, Umar Ra memandang tajam ke arah sang ayah sambil berkata, “Kalau begitu bukan anakmu yang durhaka, tetapi kamulah orang tua durhaka.”
Bak pepatah, “Siapa yang menanam, dia yang menuai”, mengingatkan setiap orang tua bahwa persoalan yang dihadapi terkait perilaku anak bukan tanpa sebab. Kisah tersebut menjadi bahan evaluasi dalam proses pendidikan anak. Ketika orang tua berlebihan dalam memenuhi keinginan anak, menuntut anak tampil sempurna (perfeksionis) sesuai keinginan dirinya, padahal setiap anak hakikatnya unik dan memiliki potensi spesifik.
Orang tua cukup memberi motivasi pada anak agar tumbuh jiwa optimis. Berproses dalam belajar agar menjadi sukses. Ada pula orang tua yang berlebihan dalam mendoktrin, dimana anak dituntut untuk memenuhi keinginan orang tua tanpa mendengar alasan dan keluhannya. Pengekangan membuat anak selalu bergantung dan berakibat fatal pada kemandirian anak. Menjadikan anak terus bergantung kepada orang tua dalam setiap tantangan dan kesulitan yang dihadapi sehingga tidak bisa mengambil keputusan sendiri. Ada pula orang tua yang berlebihan dalam menghukum anak yang bisa jadi tidak sesuai dengan tingkat kesalahan anak.
Terkadang orang tua lalai dalam membersamai anak ketika bermain supaya bisa mengetahui fase perkembangan jiwa dan fisik anak. Memperlakukan anak secara adil, bukan berarti harus persis sama, sebab orang tua perlu memperhatikan jenis kelamin, usia anak, lingkungan pendidikan, dan seterusnya. Karena antara anak lelaki dan perempuan tentu tidak sama dalam membelikan mainan, memenuhi kebutuhan sesuai masa perkembangan setiap anak yang berbeda.
Ada beberapa hal yang bisa dilakukan supaya anak berbakti kepada orang tua.
Pertama, penghargaan anak pada orang tua bisa dengan sesekali mendengar ibu bercerita tentang pengorbanan ayah dalam memenuhi nafkah bagi keluarga atau ayah bisa menceritakan pengorbanan ibu saat hamil, melahirkan, dan menyapih ananda.
Kedua, orang tua memberi teladan pada anak dalam berbakti kepada orang tua, “Berbaktilah kalian kepada orang tuamu, niscaya anak kalian akan berbakti pada kalian.” (H.R.Hakim). Sebelum berharap perilaku anak menjadi baik, maka perilaku orang tua harus diperbaiki terlebih dahulu
Ketiga, Sesekali orang tua perlu menceritakan kisah mengenai anak yang berbakti pada kedua orang tuanya, seperti kisah tiga sahabat yang terjebak dalam gua dan di antaranya berdoa dengan berwasilah dengan baktinya pada orang tua. Bakti Uwais al Qarni yang doanya terkabul karena bakti kepada ibunya dan kisah lainnya. Cerita mengenai anak yang durhaka kepada orang tua, seperti Malin Kundang anak durhaka bisa menjadi pembelajaran bagi anak dan kisah lainnya.
Keempat, orang tua berkewajiban menanamkan adab pada anak. Sebagaimana perkataan orang saleh, “Kebaikan berasal dari Allah, sedang adab atau tata krama berasal dari orang tua.”
Kelima, sebagai orang tua banyak berdoa, seraya memohon kepada Allah Swt agar dikaruniai anak yang berbakti. Di antara doa yang mustajab yakni doa orang tua. Alquran banyak mengajarkan doa, “Dan orang-orang yang berkata, ‘Ya Rabb Kami, anugerahkanlah kepada kami, istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati kami. Dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.” (Q.S. Al Furqon : 74) <Dimuat di Majalah Hadila Edisi Desember 2019>