مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ
“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaknya dia berkata baik atau diam.”
Matan hadis merupakan penggalan dari hadis shahih. Diriwayatkan oleh Bukhari dalam Shahihnya. Dalam Kitab Al-Adab, Bab Man Kana Yu’minu Billahi Walyaum Al-Akhir Fala Yu’dzi Jaarahu: 6018; Bab Ikram Adh-Dhaif Wakhidmatih Iyyahu Binafsih: 6136; dan dalam Kitab Ar-Riqaq, Bab Hifzh Al-Lisan: 6475, 6476. Diriwayatkan juga oleh Imam Muslim dalam Shahihnya. Dalam Kitab Al-Iman, Bab Al-Hats ‘Ala Ikram Al-jar … : 74.
Penggalan hadis ini merupakan arahan nabi (taujih nabawy) untuk semua orang beriman agar selalu terjaga dalam setiap tutur katanya. Taujih ini mengaitkan antara iman kepada Allah Swt dan hari akhir di satu sisi dan ucapan di sisi yang lain. Ini merupakan isyarat bahwa seharusnya iman kepada Allah Swt dan kepada hari akhir menjadi faktor utama pengendali lisan dan penjaga ucapan. Inilah yang seharusnya terjadi pada setiap orang beriman. Hal ini dikarenakan orang yang beriman kepada Allah Swt sudah seharusnya percaya bahwa Allah Swt maha mendengarkan setiap tutur kata. Tentang hal ini, Allah Swt berfirman, “Apakah mereka mengira, bahwa Kami tidak mendengar rahasia dan bisikan-bisikan mereka? Sebenarnya (Kami mendengar), dan utusan-utusan (malaikat-malaikat) Kami selalu mencatat di sisi mereka.” [Q.S. Az Zukhruf (43):80]
Pada saat yang sama, orang yang beriman kepada hari akhir sudah barang tentu meyakini dengan baik bahwa, kelak di akhirat, setiap ucapan manusia di dunia akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah Swt. Bahkan, tak sedikit orang dijerembabkan ke neraka akibat ucapan-ucapannya. “Tidaklah wajah dan leher manusia dijerembabkan ke dalam api neraka kecuali akibat apa yang diucapkan lisan-lisan mereka?” sabda Rasulullah Saw, saat menjawab pertanyaan Muadz tentang apakah manusia akan disiksa karena ucapannya, sebagaimana diriwayatkan oleh Tirmidzi
Karena itu, bagi orang beriman, seharusnya tak ada pilihan lain kecuali berbicara baik atau diam sama sekali. Berbicara jika mampu berbicara yang bermanfaat, membawa maslahat dan pahala. Puasa bicara baginya lebih tepat dan selamat daripada berbicara yang tidak bermanfaat, membawa madharat, dan dosa. Rasulullah Saw menjelaskan hal ini dalam sabdanya sebagaimana diriwayatkan oleh Tirmidzi dan Ahmad, “Siapa yang diam, dia selamat.” Ya, diam saat tidak bisa berbicara yang yang baik dan bermanfaat.
Penggalan hadis yang sedang kita bicarakan ini juga menegaskan hakikat iman dalam Islam dan hubungannya dengan tindak-tanduk seseorang. Dalam ajaran Islam, Iman bukan sekadar keyakinan hati dan pengakuan tanpa bukti. Tapi, ia memiliki konsekuensi imani yang harus dipenuhi. Tidak cukup bagi seseorang untuk sekadar mengatakan bahwa dirinya beriman. Namun, lebih dari itu, keimanannya harus melahirkan nilai-nilai yang bisa mewarnai akhlaknya dan memberi corak pada aktivitasnya. Karena itu, tak heran, dalam Alquran, kata iman sering disandingkan dengan kata ‘amal (aktivitas). Sekadar contoh, perhatikan firman Allah Swt, “Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh …” [Q.S. Al-‘Ashr (103):2-3]
Perhatikan pula firman Allah Swt, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh mereka itu adalah sebaik-baik makhluk.” [Q.S. Al-Bayyinah (98):7]
Penggalan hadis ini secara tegas menyebutkan salah satu aktivitas yang harus mendapatkan warna dan corak dari nilai keimanan. Aktivitas tersebut ialah tutur kata. Turunan dari aktivitas ini bisa berupa ucapan di dunia nyata maupun ujaran, cuitan, status, komentar, dan yang sejenisnya melalui sosial media di dunia maya. Karena itu, seyogianya ujaran-ujaran yang keluar dari orang beriman ialah ujaran-ujaran kebaikan bukan ujaran-ujaran sampah tiada guna. Kualitas ujaran seseorang menunjukkan kualitas imannya. Seorang ulama bertutur, “Lisan adalah gayung hati. Perhatikanlah saat seseorang berbicara, karena sesungguhnya lisannya akan mengambilkan untuk Anda apa yang ada di dalam hatinya, manis, pahit, tawar, asin, dan lainnya.”
Hal penting yang juga tidak bisa dilupakan ialah bahwa ujaran baik tidak saja ditentukan oleh isi atau kontennya belaka, tetapi juga dipengaruhi oleh cara penyampaian ujaran dan ketepatan momentum. Bisa jadi konten ujaran secara umum baik, tapi jika disampaikan dengan cara-cara yang tidak beradab akibatnya menjadi kurang baik. Demikian juga jika ujaran tersebut dikemukakan pada waktu dan tempat yang tidak tepat, akibat juga kurang baik. Wallaahu a’lam.<>
[Penulis: Tamim Aziz, Lc., M.P.I., Pengasuh Pondok Pesantren Ulin Nuha, Slawi, Tegal, Jawa Tengah. Dimuat di Majalah Hadila Edisi Januari 2017]